Syamsul Hidayat
Pemimpin Umum Majalah Tabligh
Dosen Fakultas Agama Islam UM Surakarta
Adalah Muhammad Djazman Alkindi, sang cicit dari KH. Ahmad Dahlan yang menjadi Rektor perintisan Universitas Muhammadiyah Surakarta 1981-1992 (yang sebelumnya IKIP Muhammadiyah Surakarta yang dipimpinnya sejak 1978, ketika IKIP berusia 20 tahun sejak berdirinya sebagai FKIP UM Jakarta Cabang Surakarta, 24 Oktober 1958), ketika menyampaikan Pidato serah terima jabatan Rektornya pada tahun 1992 untuk selanjutnya diserahkan kepada penggantinya Abdul Malik Fadjar, mengutip pesan KH. Ahmad Dahlan, “Dadiyo Kyai sing kemajuan, lan ojo kesel-kesel anggonmu nyambut gawe ono ing Muhammadiyah”. (Jadilah Kyai-Ulama yang berwawasan kemajuan, dan jangan mudah merasa capek dalam berjuang dan beraktivitas dalam Muhammadiyah).
Kutipan pesan itu juga pernah Djazman ketika pidato pembukaan Seminar Muhammadiyah di Penghujung Abad 20, tahun 1985 jelang Muktamar Muhammadiyah 41 di Surakarta Desember 1985, yang di dalamnya dibahas tentang peran Ulama dalam Muhammadiyah, perlunya Laboratorium Ulama. Pesan KH. Ahmad Dahlan itu juga sering disampaikan Djazman Alkindi ketika memberikan wejangan kepada para mahasantri Pondok Muhammadiyah Hajjah Nuriyah Shabran UMS yang dirintisnya juga mulai tahun 1982.
Ini pesan KH Ahmad Dahlan itu adalah agar wawasan warga Muhammadiyah, khususnya kader-kader ulamanya, agar menjadi ulama yang memiliki wawasan berkemajuan dalam memahami Islam. Artinya pikiran manusianya, wawasan manusianya, kadernya dan atau ulamanya yang berkemajuan. Islamnya tetap Islam otentik yang bersumber kepada Al-Quran dan al-Sunnah al-Maqbulah, yang didukung oleh berbagai khazanah pemikiran dan ijtihad para ulama baik salaf maupun khalaf.
Dalam Muktamar Muhammadiyah ke 48, 18-20 November 2022 ini, Naskah Akademik yang menjadi salah satu pembahasan Muktamar, yaitu Naskah atau Matan “Risalah Islam Berkemajuan”. Dari pembacaan sementara penulis terhadap Draft atau Naskah Akademik matan Risalah Islam Berkemajuan hampir-hampir tidak bermasalah apabila dilihat dari kacamata Manhaj Keagamaan Muhammadiyah, seperti Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH), dan rumusan-rumusan ideologis Muhammadiyah lainnya, termasuk Manhaj dan Tuntunan Tabligh Muhammadiyah. Namun, yang menjadi kontroversi dan pro-kontra dari naskah akademik itu adalah terminologi “Islam Berkemajuan” sebagaimana bermasalahnya istilah “Islam Wasatiyah” (yang banyak diusung oleh MUI) atau Islam Nusantara (yang diusung oleh Nahdlatul Ulama).
Kalau istilah Islam Wasatiyah, sudah diluruskan oleh KH. Muhammad Sirajuddin Syamsuddin, ketika menjadi Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat, dengan istilah “Wasatiyatul Islam” yang bermakna prinsip tengahan (moderasi) yang berlandaskan ajaran Islam, dengan merujuk kepada ayat Al-Quran:
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ (البقرة: 143 )
Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. [Q.S. Al-Baqarah 143]
Yang wasatan adalah ummatnya dan wasatiyah-nya berlandaskan Islam yang dibimbing oleh Rasulillah SAW, artinya mengikuti petunjuk Al-Quran dan Sunnah.
Kalau merujuk pesan KH. Ahmad Dahlan di atas, yang dituntut memiliki wawasan berkemajuan adalah manusianya, kadernya dan ulama-ulamanya, dengan berkemajuan yang dilandaskan kepada Islam otentik yang bersumber kepada Al-Quran dan Al-Sunnah al-Maqbulah. KH. Ahmad Dahlan sangat berhati-hati dalam menggunakan peristilahan.
...Selengkapnya dapat dibaca pada edisi cetak
KOMENTAR