Pada wacana keagamaan kontemporer, istilah Wahabi sering
dijadikan sebagai sebutan yang membuat fobia sebagian kalangan. Sebabnya, sebutan tersebut mengarah kepada tuduhan
radikal-ektrimis, takfiri, dan bahkan teroris. Lalu, nisbah sebenarnya siapa
Wahabi yang mestinya patut dijadikan fobia itu?
Wahabiyah atau Wahabisme (bahasa Arab: وهابية, translit. Wahhābiyah) menurut Wikipedia adalah
sebuah aliran reformasi keagamaan dalam Islam. Aliran ini berkembang dari
dakwah seorang teolog Muslim abad ke-18 yang bernama Muhammad bin Abdul Wahhab
yang berasal dari Najd, Arab Saudi. Aliran ini sering digambarkan sebagai
sebuah aliran Islam yang "ultrakonservatif", "keras", atau
"puritan". Sementara itu, pendukung aliran ini percaya bahwa gerakan
mereka adalah "gerakan reformasi" Islam untuk kembali kepada
"ajaran monoteisme murni", kembali kepada ajaran Islam sesungguhnya,
yang hanya berdasarkan kepada Al Qur'an dan Al Hadis, bersih dari segala
"ketidakmurnian" seperti praktik-praktik yang mereka anggap bid'ah,
syirik dan khurafat.
Saat ini Wahhabisme merupakan aliran Islam yang dominan
di Arab Saudi dan Qatar. Ia dapat berkembang di dunia Islam melalui pendanaan
masjid, sekolah dan program sosial. Dakwah utama Wahhabisme adalah tawhid
dan tashfiyah yaitu Keesaan Tuhan dan pemurnian agama. Muhammad bin
Abdul Wahhab (Ibn Abdul Wahhab) disebut-sebut terpengaruh oleh tulisan-tulisan
Ibnu Taymiyyah dalam semangat dan metodologi beragama.
Paham dan gerakan ini pada akhirnya dikenal dengan
sebutan Wahabi atau Wahhabiyyah. Nama tersebut, bukan berasal dari
pendirinya atau para pengikutnya, melainkan dari pihak seteru yang telah
menentangnya. Sementara mereka sendiri menyebut paham dan gerakan mereka itu
dengan Muwahhidin, Ahlussunnah wal jama’ah, dan Salafiyah.
Sebutan Wahabi atau Wahhabiyah dari musuh-musuh mereka dimaksudkan untuk
menyudutkan dan menyamakannya mereka dengan sekte Wahabiyah yang dikenal jauh
sebelumnya.
Berdasarkan sejarah, Wahabiyah/ Wahhabiyah yang
sudah ada sejak abad ke-2 H di Afrika Utara. Sekte Wahabiyah atau kelompok
Wahabi ini adalah nisbah kepada Abdul Wahhab bin Rustum, pecahan dari sekte Wahbiyah
Ibadhiyah yang berpemahaman Khawarij yang dinisbahkan kepada Abdullah bin
Wahb ar-Rasibi [Lihat, Al Farqu Bainal Firaq karya Al
Baghdadi. Lihat juga, Al Khawarij, Tarikhuhum Wa Araauhum Al
I’tiqadiyah Wa Mauqif Al Islam Minha karya Dr Ghalib bin ‘Ali ‘Awaji].
Khawarij secara harfiah berarti "Mereka yang
keluar". Istilah umum ini mencakup kelompok dalam Islam yang awalnya
mengakui kekhilafahan Ali bin Abi Thalib lalu menolaknya. Dinamakan Khawarij karena
keluarnya mereka dari Dinul Islam dan pemimpin kaum Muslim sebabkan oleh
mengafirkan kaum Muslim yang tak sependapat dengan mereka dan mudahnya
menghalalkan darah orang lain.
Titik Temu dan Titik Seteru
Sebagaimana telah diketahui Muhammadiyah adalah sebuah gerakan
Islam yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 8 Zulhijjah 1330 H/18 Nopember
1912 M. Pendiri pergerakan tersebut adalah Kiai Ahmad Dahlan yang lahir pada
1869 di Yogyakarta dari keluarga ulama. Setelah belajar berbagai ilmu
pengetahuan agama di berbagai pondok pesantren di Jawa, pada 1890 ia berangkat
ke Mekkah untuk belajar lagi dengan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib, ulama
Indonesia yang terkenal di Mekkah waktu itu. Ketika menetap yang kedua kalinya
di tanah suci, Ahmad Dahlan sempat bertemu dengan Muhammad Rasyid Ridla, murid
Syaikh Muhammad Abduh, tokoh pembaharuan Islam di Mesir yang terkenal. Sejak
saat itu, ia bercita-cita untuk melakukan pembaharuan di kalangan umat Islam di
tanah air [Tim
Penulis IAIN Syahid, 2002: 770].
Di negeri asalnya, Ahmad Dahlan mendapati realitas penjajahan
dan keterpurukan akibat dari lemahnya keimanan dan tercemarnya paham tauhid
mereka dengan kemusyrikan, bid’ah, takhayul, dan khurafat; di samping karena
ketidaktahuan mereka terhadap ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Mengingat
hal itu, maka setelah kembali ke tanah
air, Ahmad Dahlan langsung melakukan gerakan pemurnian akidah dan ibadah dengan
merujuk kepada Al Qur’an dan Al Sunnah.
Dalam bidang akidah, Muhammadiyah menganut metode dan paham
Salafiyah. Buku Kuliah Akidah Islam yang telah ditulis oleh Prof. Dr. Yunahar
Ilyas Lc, menurut sebagain pendapat identik dengan buku-buku akidah yang
ditulis oleh kalangan Wahabi. Kalau tulisan Yunahar ini dapat dianggap sebagai
pencerminan paham Muhammadiyah di bidang akidah, berarti tidak ada perbedaannya
dengan paham akidah Wahabiyah. Bahkan menurut Syafiq A. Mughni, tokoh-tokoh
Muhammadiyah sejak dulu hingga sekarang akrab dengan buku-buku karangan Ibn
Abdul Wahhab.
Gerakan Muhammadiyah ingin mengembalikan Islam pada ajaran yang murni, yang
tidak tercemar oleh tradisi atau ajaran lain dari luar sebagaimana yang berlaku
pada zaman Nabi dan generasi salaf yang saleh. Namun, dibanding dengan gerakan
Salafiyah yang lain, Muhammadiyah menunjukkan karakter yang moderat sehingga
dimasukkan dalam katagore Salafiyah Wāsithiyah, yaitu Salafiyah yang
cenderung di tengah-tengah dan moderat dan jauh berbeda dari Salafiyah Ibn Abdul
Wahhab dan Rasyid Ridla.[Haedar Nashir, 2007: 15]
Khusus di bidang fikih, Muhammadiyah berbeda dengan Wahabiyah. Kelompok Wahabi meskipun menolak taklid dan menyerukan
ijtihad, tetapi masih menyatakan diri mengikuti mazhab Hanbali. Sebaliknya,
Muhammadiyah di samping menolak taklid dan menyerukan ijtihad, juga tidak
mengikuti mazhab tertentu. Namun, warga Muhammadiyah diarahkan untuk mengikuti keputusan Majelis
Tarjih.
Sementara
itu, Ali Mustafa Yaqub berkesimpulan
bahwa ada lebih dari 20 poin persamaan ajaran antara Muhammad Hasyim Asy’ari
dan Ibnu Taimiyyah.
Menurutnya, perbedaan antara Wahabi dan NU bersifat tidak prinsip,
dan sudah terjadi sebelum lahirnya kedua kelompok ini.
Di antara titik-titik temu antara ajaran Wahabi dan NU menurut
Ali Mustafa Yaqub adalah sebagai
berikut. Pertama, sumber syariat Islam, baik menurut Wahabi maupun NU,
adalah Al Qur’an, hadis, ijma, dan qiyas. Hadis yang dipakai oleh
keduanya adalah hadis yang sahih kendati hadis itu hadis ahad, bukan mutawatir.
Kedua, sebagai konsekuensi menjadikan ijma sebagai sumber syariat Islam,
baik Wahabi maupun NU, shalat Jumat dengan dua kali azan dan shalat Tarawih 20
rakaat.
Dalam praktiknya, baik Wahabi maupun NU, tidak pernah
mempermasalahkan keduanya. Banyak anak NU yang belajar di Saudi yang
notabenenya adalah Wahabi. Bahkan, banyak jamaah haji warga NU yang shalat di
belakang imam yang Wahabi, dan ternyata hal itu tidak menjadi masalah.
Namun demikian, jika ditelisik lebih jauh, NU lahir
akibat keresahan para ulama atas kebijakan Raja Ibnu Saud yang saat itu ingin
membongkar makam Nabi Muhammad SAW karena dinilai menjadi biang kemusyrikan dan
menjadi perusak kemurnian tauhid. Berangkat dari fenomena ini, para ulama di
Nusantara berinisiatif membatalkan kebijakan Raja Ibnu Saud untuk membongkar
makam Rasulullah. Akhirnya, berangkatlah KH Wahab Hasbullah, KH Ghanaim
al-Misri, dan KH Dahlan Abdul Kahhar dengan menamakan diri sebagai Komite
Hijaz. Alhasil, setelah mereka menemui raja, kebijakan yang dikeluarkan sang
raja pun dicabut dan dibatalkan. Sepertinya kasus fenomenal yang menjadi titik
seteru kelompok Wahabi-Saudi dengan Nahdiyyin-Nusantara.
Wallahua’lam
[]
Referensi:
A. Athaillah, Muhammadiyah Tidak Identik Dengan Wahhabi.
Sumber: Muhammadiyah.or.id
Ali Mustafa Ya’qub, Titik Temu Wahabi – NU.
Sumber: Republika.co.id
Haedar Nashir, Anatomi Gerakan Wahabiyah. Sumber: SuaraMuhammadiyah.id
Mohammad Khoiron, Wahabi dan NU Sama? (Tanggapan
atas opini KH Mustafa Ya'qub). Sumber: Republika.co.id
Nur Khalik Ridwan, Tanggapan atas Tulisan KH Ali
Mustafa Yaqub soal Wahabi-NU. Sumber: nu.or.id
Septiawan Ardiansyah, Siapa Sebenarnya yang Dimaksud
Wahabi?. Sumber: Republika.co.id
Syafiq A. Mughni, Muhammadiyah Wahabi?. Sumber: pwmu.co
KOMENTAR