Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyoroti hilangnya frasa “agama”
dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 yang dikeluarkan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Pernyataan Haedar ini disampaikan
dalam forum FGD Peta Jalan Pendidikan Kemendikbud yang diadakan oleh Majelis
Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen), Senin 1 Maret 2021.
Melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI, Pemerintah
meluncurkan Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035. Peta Jalan
dirumuskan untuk memudahkan pengejawantahan salah satu tujuan nasional dalam
Pembukaan UUD NKRI Tahun 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Menurut Haedar Nashir, hilangnya frasa “agama” merupakan bentuk
melawan konstitusi (inkonstitusional) sebab merunut pada hierarki hukum, produk
turunan kebijakan seperti peta jalan tidak boleh menyelisihi peraturan di
atasnya yaitu: Peraturan Pemerintah, UU Sisdiknas, UUD 1945 dan puncaknya
adalah Pancasila. “Saya bertanya, hilangnya kata agama itu kealpaan
atau memang sengaja? Oke kalau Pancasila itu dasar (negara), tapi kenapa budaya
itu masuk?” tanya Haedar Nashir dalam forum FGD tersebut.
Peta Jalan Pendidikan
Nasional 2020-2035 diluncurkan Kemendikbud guna menjalankan amanat untuk
mencerdaskan bangsa. Peta jalan disusun sebagai rambu-rambu dalam sistem
pendidikan nasional hingga 2035 mendatang.
Haedar mengungkapkan bahwa Muhammadiyah sebagai bagian dari elemen bangsa
Indonesia menghendaki kritik-kritik konstruktif terhadap Pemerintah. Haedar
berharap kedepan Pemerintah tidak hanya mempertimbangkan aspek pragmatis
terkait pasar dan ekonomi dalam perencanaan pendidikan, namun harus memperhatikan
dimensi idealis, aspek ethics (moral)
dan aspek fundamental sebagaimana tercantum dalam perangkat Undang-Undang di
atasnya. “Harus ada konsep-konsep tandingan, harus ada narasi
alternatif, ada pikiran tandingan yang lengkap dan itu konstruktif menurut
saya. Nah kita uji nanti kalau ada konsep yang lengkap tapi (hasilnya) tetap
berarti ada sesuatu yang keliru,” jelasnya.
Haedar mengaku setuju jika
ide dalam sumber nilai konstruksi kehidupan kebangsaan berasal dari tiga unsur,
yaitu Pancasila, Agama dan Budaya. Karenanya, salah satu unsur itu tidak boleh
dihilangkan karena akan menimbulkan kecurigaan publik.
Tidak Sejalan dengan UUD dan Mencurigakan
Guru Besar bidang Sosiologi itu memandang hilangnya frasa “agama” sebagai
acuan nilai akan berdampak besar pada aplikasi dan ragam produk kebijakan di
lapangan. Padahal, pedoman wajib di atas Peta Jalan Pendidikan Nasional
yaitu ayat 5 Pasal 31 UUD 1945, poin pertama Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun
2003 Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menjelaskan secara eksplisit bahwa
agama sebagai unsur integral di dalam pendidikan nasional.
“Kenapa Peta Jalan yang dirumuskan oleh Kemendikbud kok berani berbeda
dari atau menyalahi pasal 31 UUD 1945. Kalau orang hukum itu mengatakan ini
Pelanggaran Konstitusional, tapi kami sebagai organisasi dakwah itu kalimatnya
adalah ‘tidak sejalan’ dengan Pasal 31,” demikian kritik Haedar Nashir yang
dimuat di laman resmi muhammadiyah.or.id, Kamis (5/3). “Jadi inilah
yang sering mengundang tanya, ini tim perumusnya alpa, sengaja, atau memang ada
pikiran lain sehingga agama menjadi hilang. Nah, problem ini adalah problem
yang serius menurut saya yang perlu dijadikan masukan penting bagi pemerintah.
Agar kita berpikir bukan dari aspek priomordial, tapi berpikir secara konstitusional,
karena itu sudah tertera langsung tanpa perlu interpretasi di dalam Pasal 31,”
jelasnya.
Pasal 31 UUD 1945 jelas menegaskan : Ayat
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang. Lalu
disambung Ayat (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban
serta kesejahteraan umat manusia.
Sementara Visi Pendidikan Indonesia 2035
berbunyi, “Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur
hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan
menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila.”
Haedar tak menepis bahwa
kelalaian dalam penyusunan draf Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 memicu
kecurigaan adanya keterkaitan antara keputusan kontroversial Kemendikbud
terkait SKB 3 Menteri yang dirasa begitu sensitif terhadap urusan pakaian
keagamaan.
Haedar juga menjelaskan,
keputusan dalam SKB 3 Menteri yang dikeluarkan sebelumnya juga memiliki problem
yang sama dengan Peta Jalan Nasional 2020-2035, yaitu kontradiktif dan
inkonsisten.
Jika hanya dilakukan terhadap
satu agama tertentu dan inkonsisten maka timbul bermacam kecurigaan. Haedar
mengambil contoh dengan salah satu perayaan hari keagamaan yang memaksa
dihentikannya semua kegiatan publik pada hari itu, termasuk bagi pemeluk agama
berbeda.
“Nah kalau ada kasus
seperti ini apa tidak keluar juga SKB 3 Menteri untuk melarang seluruh Pemda
yang melakukan usaha diskriminasi? Ini dampaknya luas. Saya termasuk
menyarankan jangan ada larangan karena itu sudah melekat dengan agama dan
budaya,” pungkasnya.
Peta Jalan ala Muhammadiyah
Muhammadiyah sudah memasuki Abad ke-2 dalam kiprahnya di
dunia pendidikan formal. Menurut salah satu sumber, saat ini Muhammadiyah
memiliki 27.203 satuan pendidikan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah yang terdiri atas
prasekolah, SD, MI, SMP, MTs, SMA, MA, SMK, SLB, pondok pesantren, madrasah
diniyah, takmiliyah, TPQ, PKBM/Kesetaraan, dan perguruan tinggi di penjuru
Tanah Air.
Sejak awal berdirinya, pendidikan Muhammadiyah berciri
khas dakwah amar makruf nahi munkar dan selalu menjadi kompetitor bagi gerakan
misi dan zending. Selain beradaptasi dengan modernitas, Muhammadiyah juga
selalu kaya akan terobosan dan kepeloporan. Muhammadiyah akrab dengan seni
budaya dan penggunaan tekonologi serta temuan saintifik lainnya.
Muhammadiyah sudah menjadikan mata pelajaran Al-Islam dan
Kemuhammadiyahan (AIK) sebagai mata pelajaran wajib, sebagai upaya untuk
menanamkan sekaligus menjadi ideologi gerakan. Demikian juga seharusnya sebagai
mata kuliah di perguruan tinggi Muhammadiyah, AIK tidak boleh disub-ordinat
menjadi suplemen belaka. Proses islamisasi ilmu pengetahuan untuk melahirkan
ilmu-ilmu baru juga harus menjadi arus-utama riset dan pengajaran di perguruan
tinggi. Setelah pengembangan Ilmu Ekonomi Islam, dan beberapa upaya untuk
menguatkan Ilmu Psikologi Islam serta Ilmu Kedokteran Islam, kiranya tantangan
untuk merumuskan Ilmu Politik Islam, Ilmu Sosiologi Profetik dan sejenisnya
harus dilakukan secara terencana. Ilmu-ilmu tersebut harus menjadi mata kuliah
yang diajarkan di Perguruan Tinggi Muhammadiyah, atau bahkan menjadi Program
Studi unggulan.
Dalam pola kelembagaan, Muhammadiyah selalu berupaya
unggul pada proses pembangunan dan pengembangan sekolah serta universitas.
Pengembangan kelembagaan pendidikan sudah tentu menjadikan Muhammadiyah tidak
hanya perlu memiliki sekolah modern, tetapi juga universitas riset, pesantren
modern, madrasah terpadu, dan kuttab.
Selain pendidikan formal, sejak awal berdiri Muhammadiyah
juga berkiprah pada ranah pendidikan non-formal seperti kepanduan dan
kaderisasi mubaligh. Selanjutnya Muhammadiyah perlu menguatkan kembali serta
mengembangkan peran dan fungsi lembaga non-formal ini. Selain membakukan
kurikulum dan menghidupkan kelembagaan yang sudah ada di setiap daerah,
Muhammadiyah juga perlu merespon kebutuhan pendidikan masyarakat. Sebut saja
seperti sekolah relawan, madrasah anti korupsi, madrasah kepemimpinan, sanggar
seni dan budaya, sekolah parenting, kursus pra-nikah, mentoring remaja, kursus
keterampilan (life skill) dan lain sebagainya.
Kebutuhan-kebutuhan pendidikan tersebut sesungguhnya
lebih relevan dan urgen untuk ditindaklanjuti, dibandingkan menyeret paradigm
pendidikan ke dalam industrial mainstreaming dengan framework link
and match.
Tantangan Revolusi Industri dan Pandemi
Amal usaha pendidikan Muhammadiyah saat ini dihadapkan
pada tantangan serius untuk mempertahankan dan membumikan ideologi Muhammadiyah
pada era 4.0. Di sektor pendidikan, ideologi Muhammadiyah ini mewujud dalam
mata pelajaran Al Islam dan Kemuhammadiyahan. Nilai-nilainya berkelindan dengan
falsafah Pancasila.
Namun, di era globalisasi dan keterbukaan, ada tantangan inklusivitas.
Pendidikan Muhammadiyah pada dasarnya sudah inklusif. Sebagai contoh, sekolah
dan perguruan tinggi Muhammadiyah di Indonesia bagian timur sebagian besar dihadiri
siswa dan mahasiswa non-Muslim. Sebagian alumni non-Muslim bahkan menjadi
pemimpin di daerahnya. Praktik baik ini perlu dikembangkan di wilayah lainnya.
Akan tetapi inklusifitas dan globalisasi informasi bisa
menjadi alat penggerus ideologi jika tidak disikapi dengan tepat. Perlu
ijtihad-ijtihad akademik kekinian untuk merespon berbagai isu. Sebut saja
seperti Fikih Anti Korupsi, Fikih Air dan Lingkungan, Hisab dan Astronomi.
Ijtihad ini nantinya harus masuk dalam kurikulum pendidikan dan diajarkan, baik
sebagai kurikulum utama, maupun ko-kurikuler.
Selanjutnya ada tentangan perluasan akses pendidikan
bermodelakn e-learning. Muhammadiyah perlu merumuskan kebijakan pendidikan
jarak jauh (PJJ), untuk turut menjawab tantangan akses pendidikan bagi siswa-siswa
yang terkendala karena geografis dan lainnya. Selain itu, di era Pandemi
seperti sekarang, sudah selayaknya Muhammadiyah memiliki infrastruktur digital
yang memadai. Sudah wajib hukumnya Muhammadiyah memiliki server dan aplikasi
e-learning sendiri. Sebut saja aplikasi meeting dan webinar semisal Google Meet
atau Zoom; aplikasi marketplace one-stop learning semisal Ruang Guru dan Udemy.
Data Center berbasis teknologi Cloud juga sudah menjadi hal yang mendesak untuk
memenuhi kebutuhan sekolah-sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah.
Selain itu, dukungan terhadap riset berupa perpustakaan
digital dan repository online juga sudah tidak terelakkan. Semoga peta jalan
Muhammadiyah ini bisa dituliskan secara resmi dan dijalankan sebagaimana
mestinya. Sebagai pioneer pendidikan formal di Indonesia, Muhammadiyah
patut menjadi pelopor dan memberikan solusi terbaik bagi masyarkat dan bangsa
Indonesia. Wajaahidu fiina lanahdiyannakum subulana! [mrh]
KOMENTAR