Pertanyaan
Kami
berkomitmen untuk tidak punya utang. Bahkan, sekedar meminjam apalagi
mengemis, kami tidak pernah. Ada rasa malu kepada teman kalau mau meminjam
uang. Bahkan, kami semula punya uang lebih, hingga tetangga dan kawan dekat,
justru memiliki uang pinjaman kepada
kami. Kini masa berubah. Pandemi tidak segera selesai. Kami kehabisan uang
untuk sehari-hari.
Mau menagih ke tetangga, rasanya juga tidak tega karena sama-sama sedang
kesulitan pekerjaan. Sekedar info, sejak pandemi, suami saya diminta menjadi bendahara
Masjid. Mohon maaf ustadz, apakah dalam masa kesulitan seperti itu, kami boleh menggunakan uang Masjid
untuk menalangi sementara kebutuahn sehari-hari, atau malah jamaah Masjid kami yang juga kehabisan uang? Mohon penjelasan, Terima kasih.
Jawaban
Selaku pengasuh konsultasi populer Majalah Tabligh, kami turut perihatin
atas kondisi ekonomi yang saudari alami. Semoga kita semua diberi kesabaran dan
berharap agar keadaan kita semua segera membaik. Selain do’a kami berusaha
memberikan jalan keluar sesuai kemampuan kami. Dari pertanyaan di atas, ada dua
persoalan yang perlu diselesaikan secara terpisah, boleh tidaknya pengurus
Masjid meminjam uang kas Masjid dan boleh tidaknya jamaah meminjam kas Masjid.
Meski masalahnya sama, kedua hal ini harus dipisahkan, mengingat suami dari
penanya merupakan pengurus/ta’mir Masjid. Agar kita terhindar dari sesuatu yang
keliru, memang diperlukan kehati-hatian dalam mengelola dana Masjid. Kaidah fikih
menyebutkan, Al-Ihtiyāt yaqtadhī al-akhdzu bi al-tahrīm; sikap yang
hati-hati menuntut pengenalan pada yang haram. Karenanya, memahami dengan baik
sesuatu yang dilarang merupakan bagian dari upaya menghindari larangan itu
sendiri.
Terhadap kebolehan pengurus meminjam kas Masjid, dapat kami sampaikan
hal-hal berikut. Pertama, berdasarkan akad tidak tertulis, dana umat
yang diserahkan ke Masjid dimaksudkan untuk menjaga kemakmuran Masjid, terutama
yang berkaitan langsung dengan pelayanan terhadap jamaah (kemudahan,
kenyamanan, dan keamanan). Sehingga penting bagi semua pengurus Masjid untuk
memahami kedudukan akad tersebut [Qs. Al-A’raf /7: 85]. Dana yang terkumpul, baik dari infak harian, infak Jum’at, maupun lainnya harus diperuntukkan untuk
kemakmuran Masjid. Tentu tidak tepat sekiranya uang umat hanya tersimpan di
rekening masjid bertahun-tahun tanpa dimanfaatkan. Hal tersebut dapat disamakan
dengan perbuatan ihtikār dan menelantarkan lahan, dua perbuatan yang
dilarang Nabi saw [H.R. Muslim 3999, 4207].
Kedua, Takmir
Masjid bertugas untuk mengusahakan kemakmuran Masjid baik aspek fisik (bangunan
dan sarana) maupun aspek ruhiyah (fungsi dan pelayanan). Jika ada pengurus yang
ingin memanfaatkan fasilitas Masjid, hendaknya diputuskan melalui musyawarah.
Sebab, dengan bermusyawarah selain mengundang pertolongan Allah SWT juga
menghindarkan kita dari perpecahan yang diakibatkan saling curiga dan saling
menyalahkan [Q.S.
Ali Imran/3:
159].
Ketiga,
Masjid sebagai lembaga sosial. Alangkah baiknya jika setiap Masjid memiliki
dana ta’awun yang dikumpulkan dari jamaah dan diperuntukkan bagi jamaah.
Dana ta’awun diniatkan untuk saling membantu dan saling meringankan [Q.S. Al-Maidah/5: 2]. Dalam prakteknya, bantuan dari dana ta’awun tidak
perlu dikembalikan, karena memang sifatnya santunan. Model ini perlu diterapkan
ke dalam manajemen keuangan Masjid. Sehingga, Masjid menjadi perantara antara
orang yang ingin menolong dengan orang yang memerlukan bantuan. Dengan model ta’awun,
kehormatan penerima bantuan tetap terjaga. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh, takrīm
banī Ādam maqhsud syar’iyy asās; memuliakan bani Adam merupakan tujuan
pokok syariat.
Sedang terhadap kebolehan jamaah meminjam dana Masjid, dapat kami sarankan
agar mempertimbangkan tiga aspek berikut.
Pertama,
aspek prioritas (dharūriyāt). Artinya, penggunaan kas Masjid harus
diprioritaskan untuk kebutuhan dan keperluan Masjid yang meliputi pengadaan dan
pemeliharaan sarana prasarana. Pada poin ini kita dapat menerapkan kaidah
fikih, mashlahah al-jamā’ah aulā bi al-i’tibāri min mashlahah al-fard; maslahat
yang bersifat umum harus didahulukan daripada mashlahat pribadi.
Kedua, aspek
sosial (hājiyāt). Jika keperluan skala prioritas telah terpenuhi, memang
sewajarnya jika Masjid memperhatikan keadaan jamaahnya. Kalau perlu dalam
menjalankan fungsi sosialnya, Masjid membuat pos belanja untuk dana takā’ful,
yaitu dana yang diperuntukkan untuk membantu jamaah yang memerlukan dengan
sistem pinjaman. Dana inilah yang nantinya boleh dipinjamkan kepada jamaah dan
dikembalikan berkala sesuai perjanjian.
Ketiga, aspek
penunjang (tahsīniyāt). Sudah waktunya bagi Masjid dengan jumlah jamaah
yang besar agar memikirkan aspek kemanfaatan yang lebih luas. Masjid yang telah
sukses memberikan pelayanan prima bagi jamaah, membantu masyarakat yang
memerlukan, perlu membuat kegiatan penunjang seperti lembaga pendidikan, pusat
pelatihan, termasuk usaha-usaha komersil.
Apa yang saudara penanya alami, dapat dikategorikan sebagai kesulitan (masyaqqah)
yang memerlukan kemudahan (al-taisīr). Jika dibiarkan, kesulitan
tersebut dapat mengancam keselamatan jiwa. Sementara, jiwa merupakan amanah
syariat yang harus dijaga. Kaidah fikih menyebutkan, hifdz al-nafs wājib
hasba al-imkān; menjaga keselamatan jiwa wajib dilakukan, bagaimanapun
caranya. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, baik
sebagai pengurus masjid maupun jamaah dapat menggunakan kas Masjid selama
pelayanan yang bersifat pokok telah terpenuhi, terdapat kas yang berlebih, melalui
musyawarah ta’mir, dan lebih baik lagi jika dibuatkan sistem
pendistribusiannya. Wallāhu a’lam bis shawāb.
Dijawab oleh Asrul Jamaluddin
(Rumah Tarjih Kauman dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
KOMENTAR