Pertanyaan
Ustadz, kami sering bepergian (hidup
di perjalanan) terutama pada siang hari. Karenanya, kami lebih banyak menjama’
shalat. Apakah yang kami lakukan sudah benar atau tidak. Mohon juga dijelaskan
urutan pelaksanaan shalat jama’ tersebut, terutama jama’ ta’khir. Apakah harus
urut sesuai waktunya atau malah mendahulukan Ashar ? terimakasih.
Jawaban
Terimakasih atas kepercayaan saudara
kepada rubrik konsultasi populer Majalah Tabligh. Memang masalah
ini termasuk persoalan yang sering dihadapi, terutama bagi mereka yang tingkat
mobilitasnya tinggi. Jawaban atas persoalan yang saudara tanyakan dapat
dipetakan menjadi tiga aspek berikut ini.
Pertama, ketentuan menjama’
shalat. Ada dua kelompok
shalat yang boleh dijama’, yaitu; Dhuhur-Ashar dan Maghrib-Isya’, baik dengan
model taqdīm (mengajukan pelaksanaan shalat yang waktunya belum tiba)
maupun ta’khīr (mengakhirkan pelaksanaan shalat ke waktu shalat
berikutnya). Sedang kondisi
dimana seseorang dibolehkan menjama’ shalat adalah; jama’ah haji yang sedang
wukuf di Arafah, sedang mabit di Mina atau Muzdalifah (Muttafaq ‘Alaih dari
Anas); dalam keadaan hujan atau sedang dalam situasi ketakutan (Jama’ah kecuali
Bukhari dari Ibn Abbas); ketika sedang sakit (Muslim dari Ibn Abbas); dan ketika
sedang bepergian (Abu Daud dari Muadz bin Jabal).
Kedua, kemudahan bagi musafir. Syariat memberikan
kemudahan (rukhsah) bagi para musafir untuk menjama’ shalat dan atau
mengqasharnya sekaligus. Ketentuan safar dapat dilihat dari dua aspek, yaitu
jarak tempuh perjalanan dan rentan waktunya. Merujuk pada riwayat Muslim dan
Abu Daud dari Syu’bah bin Hajjaj, jarak tempuh perjalanan yang dibolehkan
menjama’ shalat adalah 3 farsakh (17 km). Sedang bila merujuk pada hadis mauqūf
yang bersumber dari Ibn Abbas, jarak tempuh safar adalah 4 burud (89 km). Sedang terkait lamanya waktu safar meliputi 3
hari, 10 hari (Muttafaq ‘Alaih dari Anas bin Malik), 12 hari (Ahmad dari
Imran), dan maksimal 19 hari (Muttafaq ‘Alaih, dari Ibn Abbas). Mengingat dalil
seputar persoalan jarak tempuh dan lamanya safar hanya didasarkan pada
deskripsi sahabat yang berbeda-beda (bukan hadis qauli Nabi saw), maka safar dapat
dipahami sebagai suatu perjalanan dimana masyarakat setempat menganggapnya sebagai
safar. Sehingga, tidak ada jarak dan waktu yang pasti terkait safar, sebab yang
dituju adalah kemudahan (rukshah), baik fisik, psikis, maupun sosiologis
masyarakat. Karena itu, apa yang saudara penanya lakukan dapat disebut safar apabila
perjalanan saudara tersebut dipandang perlu mendapatkan keringanan, baik karena
disebabkan keterbatasan fisik, suasana psikis, maupun keadaan sosiologis.
Penting pula dipahami bahwa rukshah
jama’ bagi mereka yang sedang bersafar, diperuntukkan hanya kepada yang
melakukan perjalanan (safar) ke luar dari daerah tempat tinggalnya (kampung
atau kota domisili). Sehingga, rukshah menjama’ shalat tidak
berlaku bagi mereka yang melakukan perjalanan dalam kota yang sama, meski rute
yang dilaluinya sejauh 17 km (jarak minimal) atau 89 km (jarak ideal).
Ketiga, tata cara shalat jama’. Terdapat beberapa riwayat
yang menjelaskan tentang tata cara jama’, baik taqdīm maupun ta’khīr.
Dua riwayat berikut ini dapat menjadi rujukan.
Riwayat pertama dari Anas bin Malik.
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلعم إِذَا ارْتَحَلَ
قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ
نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا فَإِنْ زَاغَتِ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ
صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ.
Bahwa Nabi saw jika
berangkat dalam bepergiannya sebelum matahari tergelincir, beliau mengakhirkan shalat
Dhuhur ke waktu Ashar dengan menjama’ keduanya. Namun, jika berangkatnya
setelah matahari tergelincir Nabi saw melaksanakan shalat dhuhur terlebih
dahulu kemudian menaiki kendarannya. [Muttafaq ‘Alaih]
Riwayat kedua dari Mu’adz.
عَنْ مُعَاذٍ أَنَّ النَّبِىَّ صلعم كَانَ فِى
غَزْوَةِ تَبُوكَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ زَيْغِ الشَّمْسِ أَخَّرَ الظُّهْرَ
حَتَّى يَجْمَعَهَا إِلَى الْعَصْرِ يُصَلِّيهِمَا جَمِيعاً وَإِذَا ارْتَحَلَ
بَعْدَ زَيْغِ الشَّمْسِ صَلَّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعاً ثُمَّ سَارَ
وَكَانَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ الْمَغْرِبِ أَخَّرَ الْمَغْرِبَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا
مَعَ الْعِشَاءِ وَإِذَا ارْتَحَلَ بَعْدَ الْمَغْرِبِ عَجَّلَ الْعِشَاءَ
فَصَلاَّهَا مَعَ الْمَغْرِبِ.
Bahwa pada perang tabuk, apabila berangkat sebelum matahari tergelincir,
Nabi saw mengakhirkan Dhuhur hingga ke waktu Ashar dengan menjama’ keduanya.
Dan apabila berangkat sebelum Maghrib, nabi saw mengakhirkan shalat Maghrib ke
waktu Isya’ dengan menjama’ keduanya. Dan apabila berangkatnya setelah Maghrib,
Nabi saw menyegerakan Isya’ ke waktu Maghrib dengan menjama’ keduanya. [H.R. Ahmad, Abu Daud,
Tirmidzi]
Kedua riwayat tersebut tersebut
di atas, termasuk riwayat-riwayat lainnya yang semakna tidak begitu tegas
menjelaskan tentang teknis pelaksanaan jama’ ta’khir. Meski demikian, hukum
asal dari pelaksanaan shalat adalah berurutan (tartīb). Namun, seseorang
dapat mengerjakannya tidak secara urut, apabila terdapat uzur syar’i. Misalnya,
saat hendak melaksanakan jama’ ta’khir, di tempat yang sama sedang atau akan
berlangsung shalat Ashar berjama’ah. Dalam situasi seperti itu, saudara dipersilahkan
terlebih dahulu mengerjakan shalat Ashar berjama’ah, setelah itu dilanjutkan
dengan shalat Dhuhur. Wallāhu a’lam bisshawāb. []
Dijawab oleh Asrul
Jamaluddin
(Kyai Rumah Tarjih
Kauman Yogyakarta dan Dosen Prodi Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).
KOMENTAR