Pertanyaan
Di tengah pandemi seperti saat ini, tidak sedikit orang yang kesulitan
mencari makan. Dalam situasi seperti itu, bolehkah seseorang mencuri sekedar
untuk bertahan hidup ? Kita juga terkadang melihat penyiksaan terhadap pencuri
dengan alasan agar pencuri tersebut berhenti dari perbuatannya. Apakah tindakan
semacam itu dibenarkan ? Mohon penjelasan, terimakasih.
Jawaban
Terima kasih kepada penanya atas perhatiannya pada realita kehidupan
bermasyarakat. Pertanyaan saudara dapat dikelompokkan menjadi dua bahasan. Pertama,
bagaimana hukumnya orang yang mencuri dalam keadaan terpaksa (bertahan hidup). Kedua,
bagaimana hukumnya menyiksa pencuri.
Terhadap masalah yang pertama dapat kami sampaikan dua hal pokok. Pertama,
mencuri dapat diartikan sebagai mengambil barang orang lain secara diam-diam, tanpa
sepengetahuan dan kerelaan pemiliknya. Fikih Islam mengenal lima jenis pencurian;
[1] mencuri disebabkan kelalaian pemilik barang disebut mukhtalis, [2] mencuri
dengan cara menipu pemilik harta disebut al-khāin, [3] mencuri dengan
cara merampas di tengah kerumunan orang disebut muntahib/ghasab, [4] mencuri
dengan cara diam-diam disebut al-sāriq, dan [5] mencuri dengan cara
merampok (disertai dengan penganiayaan fisik-psikis) disebut qath’ al-tharīq.
Kelima jenis pencuri tersebut dihukum secara berbeda. Pencuri jenis pertama,
kedua, dan ketiga dapat dihukum dera, denda, penjara, dipermalukan (diarak),
atau hukuman lain yang dapat dijadikan pelajaran pada orang lain. Pencuri jenis
keempat dihukum dengan potong tangan apabila syarat-syaratnya terpenuhi [QS.
Al-Maidah/5: 38]. Sedang hukuman bagi pencuri jenis kelima adalah potong
tangan dan kaki secara silang serta dijatuhi hukuman bunuh apabila menimbulkan
korban jiwa. Dalam Islam, pencuri dihukum dengan hukuman yang keras sebab Islam
menghargai mereka yang mau bekerja, menjaga keberlangsungan harta individu, dan
menjaga kehidupan yang harmoni. Mencuri merusak ketiga hal tersebut.
Kedua, pada
dasarnya semua bentuk pencurian dilarang dan harus mendapatkan hukuman yang
setimpal. Meski, saat terjadi kelaparan massal (al-mujā’āt) mencuri
seukuran untuk mengisi perut, dapat dimaafkan. Hal itu merupakan keringanan
bagi manusia demi kelangsungan hidupnya (hifdz nafs). Kaidah ushul
menyebutkan, “al-dharūrāt tubīh al-mahdzūrāt; keadaan yang menyulitkan
membolehkan yang dilarang”. Ukuran darurat dalam hal ini dijelaskan oleh
kaidah ushul lainnya, “al-dharūrah tuqaddar biqadrihā; darurat dihilangkan
dengan seukuran kedaruratannya”. Di masa pandemi seperti saat ini, dimana ukhuwah
insaniyah (tenggang rasa, tepo seliro, tasāmuh, ta’āwun) masih melekat pada masyarakat
kita, mencuri dengan alasan bertahan hidup tidak dapat dibenarkan. Agama
memberikan jalan lain berupa kebolehan meminta-minta sekedar untuk melepaskan
diri kelaparan [QS. Al-Baqarah/2: 273]. Bahkan Nabi saw mengizinkan orang yang tertimpa musibah untuk meminta-minta
[Muslim; 1044]. Apabila rasa lapar tersebut telah hilang, hilang pula hukum
darurat yang membolehkan sesuatu yang dilarang.
Mengenai pertanyaan kedua, hukuman bagi pencuri telah diatur oleh hukum
Islam maupun Undang-undang. Menurut Islam, hukuman bagi tindak pidana meliputi
potong anggota badan (had), bunuh (hudūd), balas timpal (qishas),
pengasingan (hajr), dan ta’zīr; penjara, pemecatan, denda, dera,
dan teguran yang kesemuanya didasarkan pada putusan hakim. Kaitannya dengan
pencurian, hukumannya sudah ditetapkan Allah berupa potong tangan [QS.
Al-Maidah/5: 38]. Jika belum memenuhi syarat dihukum sesuai dengan
penjelasan sebelumnya. Bentuk-bentuk hukuman tersebut dimaksudkan untuk
mendidik dan membersihkan jiwa manusia dari keinginan mengambil hak orang lain.
Sedang menurut KUHP bab II pasal 10, hukuman bagi pelaku tindak pidana meliputi
pidana mati, penjara, kurungan, denda, pencabutan hak-hak tertentu, dan
penyitaan [lihat, KUHP bab XXII pasal 362-367]. Karena itu, baik menurut
hukum Islam maupun Undang-undang, menyiksa pencuri dengan tujuan membuatnya
jera merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Memang, tidak dipungkiri
diantara kelemahan kita adalah menjilat kepada yang lebih tinggi dan menindas
(dzalim) kepada yang di bawah. Terhadap pencuri kelas teri kita berlaku kejam,
sementara pada saat yang sama menaruh hormat pada pencuri kelas kakap (koruptor).
Korupsi yang merupakan pencurian berencana, terstruktur, dan terorganisir
jelas-jelas lebih besar mudharatnya bagi kemanusiaan. Hendaklah kita takut pada
peringatan Nabi saw;
إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ
قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا
سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ
أَنَّ فَاطِمَةَ ابْنَةَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا.
“Sungguh umat sebelum kalian ditimpa kehancuran,
disebabkan apabila orang mulia diantara mereka mencuri, mereka mengabaikannya.
Sementara saat orang lemah mencuri, mereka menerapkan hukuman (had). Demi
Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong
tangannya”. [HR. Bukhari-Muslim].
Kedepan negara harus memikirkan cara memberi hukuman yang dapat menumbuhkan
akhlakul karimah orang yang dihukum (tashlīh), mengandung
Rubrik ini diasuh oleh Asrul Jamaluddin (Kyai
Rumah Tarjih Kauman Yogyakarta; Dosen Prodi Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta).
KOMENTAR