SEPULUH tahun sebelum kudeta berdarah, Aidit--pria
kelahiran 30 Juli 1923 ini, merilis buku hasil pikirannya berjudul “Lahirnja PKI dan Perkembangannja”.
Sebelum tahun 1955 --tahun diluncurkannya buku tersebut -- istilah teroris,
belum banyak dijumpai dalam literatur maupun dalam diskusi-diskusi saat itu.
Namun Aidit ternyata sudah fasih mengucapkannya, bahkan dalam buku tersebut
tertulis di halaman 42-43, bahwa dalam Konferensi PKI tahun 1952, pihaknya
bersama dengan pemerintah bertekad untuk menghancurkan gerombolan TERORIS DI/TII yang melakukan teror di
Jawa Barat dan Jawa Tengah. Barangkali, Aidit-lah orang di Indonesia
yang mengenalkan istilah teror, atau teroris kepada publik di masa awal.
Menurut Jainuri (15/10/2006), dalam artikel berjudul
“Janji surga di tengah kemiskinan” istilah teror dan terorisme baru popuper di
awal tahun 2000-an dalam bentuk kekerasan agama. Meskipun, terorisme sudah
terjadi sejak manusia pertama ada di bumi. Aidit sendiri akhirnya menjadi
pelopor kekerasan berdarah, sekalipun dalam tulisan-tulisannya, atau dalam
pidato-pidatonya, seolah menjadi pelopor melawan kekerasan. Maka dari itu,
berapa banyak masyarakat yang sebenarnya tidak paham apa itu PKI, apa itu
Komunis, terjebak dalam pat-gulipat pergerakan kekerasan terselubung yang
berujung pada pemberontakan PKI di Indonesia? Dalam buku yang sejatinya
dibacakan di dalam Hari Ulang Tahun PKI 23 Mei 1955 di Jakarta itu, Aidit
dengan jelas mengutip pendapat-pendapat rujukan dedengkot Komunis dunia,
diantaranya Lenin, Marxis, Stalin dan sebagainya. Dalam seruan tahun 1919,
Lenin menyerukan kepada PKI khususnya di Indonesia, untuk menggarap kaum tani
dan buruh sebagai massa yang istimewa di kawasan Timur. Dari seruan inilah,
maka Aidit mempraktekkannya dengan sungguh-sungguh, sehingga terbukti benar,
pada Kongres Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) Agustus 1920, di Semarang,
hadir 22 Serikat Buruh dengan 72.000 anggotanya.
Meskipun Aidit menamai partainya dengan nama PKI (Partai
Komunis Indonesia), namun di kalangan akar rumput, bahkan di kalangan menengah
ke atas juga, nama PKI lebih melekat di benak masyarakat dibanding nama ideologinya:
Komunis. Hal ini terbukti dalam perkembangan PKI, ketika PKI memberontak terakhir di tahun 1965, Pemerintah menyatakan PKI sebagai Partai
terlarang dan terdapat klausul, larangan menyebarkan ajaran komunisme di masa
yang akan datang.
Dalam Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun 1966,
yakni tentang PEMBUBARAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA, PERNYATAAN SEBAGAI
ORGANISASI TERLARANG DISELURUH WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAGI PARTAI
KOMUNIS INDONESIA DAN LARANGAN SETIAP KEGIATAN UNTUK MENYEBARKAN ATAU
MENGEMBANGKAN FAHAM ATAU AJARAN KOMUNIS/MARXISME-LENINISME, maka PKI dinyatakan
terlarang. Dalam Tap ini, tertulis: “Setiap kegiatan di Indonesia untuk
menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme
dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur
serta media bagi penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran tersebut
dilarang.”
Kemudian dalam UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27
TAHUN 1999 TENTANG PERUBAHAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA YANG BERKAITAN
DENGAN KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA, ditulis dalam pertimbangan, bahwa
bahwa paham atau jalan Komunisme/Marxisme Leninisme dalam praktek kehidupan
politik dan kenegaraan menjelmakan diri dalam kegiatan kegiatan yang
bertentangan dengan asas-asas sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia yang
ber-Tuhan dan beragama serta telah terbukti membahayakan kelangsungan hidup
bangsa Indonesia.
Di sinilah uniknya. Meskipun PKI dibubarkan, larangan
Komunisme diterapkan, namun dalam benak masyarakat telah terlanjur terpartri
sejak awal, bahwa antara Komunisme dan PKI seolah satu kesatuan tidak bisa
dipisahkan. PKI adalah Komunis dan Komunis adalah PKI. Ada ketidakpedulian
masyarakat, ketika kedua istilah tersebut sebenarnya berbeda. Akan tetapi, karena
sudah menjadi stereotip, maka tidaklah mengherankan apabila sampai hari ini,
masyaraklat tetap lebih “nyaman” menggunakan istilah PKI dibanding “Komunis”.
Tidak peduli bahwa PKI itu nama Parpol yang sudah dibubarkan, namun karena
sudah menjadi ikon sejarah kelam negeri ini, soal istilah, tak penting lagi
untuk diperdebatkan. Sebagai kelompok politik, PKI gterlanjur lekat dengan
sejarah kekerasan berdara. PKI terlanjur melekat pada ikon pemberontak. PKI
terlanjur menjadi momok menakutkan bagi Bangsa Indonesia.
Selain juga, bahwa menggunakan istilah “PKI” akan
memudahkan dalam menyatukan persepsi. Masyarakat tidak mudah dibelokkan
pemahamannya, bahwa memang sejak dibubarkan, PKI pantas dinyatakan sebagai
bahaya laten. Yakni, bahaya yang bisa muncul kembali di waktu yang akan datang.
Maka meskipun dalam Majalah edisi ini menggunakan judul “GANYANG PKI”, maka sesungguhnya
yang pantas diganyang, tidak hanya PKI. Namun juga siapa saja yang masih mimpi
hidup dengan ideologi Komunis, pantaslah mereka diganyang. Apapun namanya.
...baca selengkapnya di Majalah Tabligh edisi September 2020...
KOMENTAR