Oleh: M. Reza Prima
Secara harfiah hijrah adalah Al-Intiqal Min Makanin Ila Makanin atau perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain. Pada umumnya, kata hijrah digunakan secara harfiah, untuk mengungkapkan perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain. Namun hijrah dapat difahami lebih luas. Hijrah dapat difahami secara maknawi. Seperti perpindahan dari kekufuran kepada keimanan, kemaksiatan kepada ketaatan, kezaliman kepada keadilan.
Waktu terus bergulir, dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun. Mutlak harus ada perubahan. Perubahan ke arah yang lebih baik. Perubahan inilah yang disebut dengan hijrah maknawi. Rasulullah mengingatkan seorang muslim harus lebih baik dari hari ke hari. Hari ini lebih baik dari kemarin, dan esok lebih baik lagi dari hari ini.
Dan termasuk perubahan yang harus diperhatikan adalah perubahan di dunia kepemimpinan. Ibnu Taimiyah menyebut kepemimpinan sebagai ibadah yang paling utama, karena pada kepemimpinan ada kemaslahatan orang banyak. Mutlak sifatnya dalam kepemimpinan ada perubahan ke arah yang lebih baik lagi. Karena pada kepemimpinan ada hajat, kebutuhan, dan kemaslahatan masyarakat.
Mengacu kepada arahan Ilahi, ada beberapa sifat pemimpinan yang mutlak harus dimiliki. Allah Ta’ãlã berfirman:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
“Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yaitu yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” [Q.S. Al-Mãidah/5: 55]. Berikut ulasannya:
1. Beriman kepada Allah Ta’ãlã
Karena ulil amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah, sedangkan Rasulullah sendiri adalah pelaksana kepemimpinan Allah Ta’ãlã, maka tentu saja yang pertama sekali harus dimiliki oleh penerus kepemimpinan beliau adalah keimanan (kepada Allah, Rasul, dan rukun iman yang lainnya). Tanpa keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya bagaimana mungkin dia dapat diharapkan memim¬pin umat menempuh jalan Allah dalam memimpin.
Selain itu kepemimpinan adalah ibadah yang paling utama. Semangat dalam memimpin haruslah semangat ibadah kepada Allah. Bukan semangat mencari uang, apalagi dijadikan sarana menggantikan modal para rente yang membiaya ongkos politik. Karena kepimpinan adalah masalah ibadah karenanya kepemimpinan harus diberikan kepada sosok yang beriman dan amanah.
2. Mendirikan Shalat
Shalat adalah ibadah vertikal langsung kepada Allah Ta’ãlã. Seorang pemimpin yang mendirikan shalat diharapkan memiliki hubungan vertikal yang baik dengan Allah. Diharapkan nilai-nilai kemuliaan dan kebaikan yang terdapat di dalam shalat dapat tercermin dalam kepemimpinannya. Misalnya nilai kejujuran.
Apabila wudhu’ seorang imam yang sedang memimpin shalat batal, sekalipun tidak diketahui orang lain, dia akan mengundurkan diri dan siap digantikan orang lain, karena dia sadar bahwa dia tidak lagi berhak menjadi imam.
3. Membayarkan Zakat
Zakat adalah ibadah mahdhah yang merupakan simbol kesucian dan kepedulian sosial. Seorang pemimpin yang menunaikan zakat diharapkan selalu berusaha menyucikan hati dan hartanya.
Dia tidak akan mencari dan menikmati harta dengan cara yang tidak halal (misalnya dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme). Dan lebih dari pada itu dia memiliki kepedulian sosial yang tinggi terhadap kaum dhuafa dan mustadh’afin. Dia akan menjadi pembela orang-orang yang lemah.
4. Selalu Tunduk Patuh Kepada Allah Ta’ãlã
Dalam ayat di atas disebutkan pemimpin itu haruslah orang-orang yang selalu ruku’. Ruku’ adalah simbol kepatuhan secara mutlak kepada Allah dan RasulNya yang secara konkret diterjemahkan dengan menjadi seorang muslim yang kaffah (total), baik dalam aspek aqidah, ibadah, akhlaq maupun mu’amalat.
Aqidahnya benar (bertauhid secara murni dengan memurnikan peribadatan kepada Allah saja, bebas dari segala bentuk kesyrikan), ibadahnya tertib dan sesuai tuntutan Nabi, akhlaqnya terpuji (shidiq, amanah, adil, istiqamah dan sifat-sifat mulia lainnya) dan mu’amalatnya (dalam seluruh aspek kehidupan) tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
Peran Pemuda dalam Perubahan Kepemimpinan
Dalam Al-Qur’an Allah Ta’ãlã berulang-ulang menceritakan peran para pemuda dalam perubahan. Beberapa peran mereka sangat vital dalam melawan tiran yang berkuasa. Para pemuda digambarkan Allah sebagai pelopor terdepan dalam perubahan. Allah Ta’ãlã berfirman:
وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ وَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا
“Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka.” [Q.S. Al-Kahfi/18: 18].
Ayat di atas menceritakan sekelompok pemuda yang beriman kepada Allah Ta’ãlã dan meninggalkan mayoritas kaumnya yang menyimpang dari agama Allah Ta’ãlã. Allah menyelamatkan para pemuda tersebut dan menidurkan mereka selama 309 tahun hingga berakhirnya rezim kufur menjadi rezim beriman.
Ayat ini membuktikan bahwa Islam adalah agama yang sangat memperhatikan dan memuliakan para pemuda. Dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ãlã menceritakan berulang-ulang menceritakan peran pemuda yang mempunyai pendirian dalam menegakkan keadilan. Bahkan, hal ini tercatat dalam beberapa kisah-kisah umat terdahulu. Semua ini menjadi dasar bahwa perubahan dan kepemimpinan harus diberikan kepada pemuda pilihan. Pemuda yang mengawal keadilan dan merubohkan kezaliman. Sudah saatnya pemuda bergerak dan meju memimpin. Wallahu A’lam. []
KOMENTAR