Sebuah tulisan yang cukup viral tersebar di berbagai media sosial di bawah judul "SANGAHAN UNTUK FATWA MUI & USTAD2 YANG IKUT SERTA MENG-AMIINKAN NYA, tentang: HUKUM AJAKAN TIDAK SHOLAT BERJAMAAH DAN SHOLAT JUM'AT DI MASJID", sedangkan penulisnya tidak disebutkan, namun tulisan ini sangat mungkin mempengaruhi pandangan dan sikap masyarakat terhadap Fatwa MUI tentang masalah yang sama.
Karena saya termasuk yang mengaminkan fatwa MUI tersebut, baik sebagai pribadi maupun sebagai Wakil Ketua Umum MUI DKI Jakarta dan Wakil Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat, saya terpanggil untuk merespon tulisan tersebut karena dapat berakibat kerancuan dan ketidakkompakan masyarakat dalam melaksanakan dan mematuhi kebijakan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah sebagai upaya serius untuk menghindari penyebaran wabah virus Covid-19 tersebut.
Dalam konteks ijtihad tentu berlaku kode etik ijtihad yang berbunyi:
الإجتهاد لا ينقض بالإجتهاد
Sebuah ijtihad tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad yang lain.
Berkaitan dengan kepentingan bersama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tentu ijtihad jama'iy lebih memiliki kekuatan dan mendapat pengakuan (legitimate) dibanding ijtihad yang dilakukan secara individual.
Di Indonesia, MUI adalah wadah tempat berkumpulnya ulama, zuama dan intelektual dengan segala disiplin ilmu dan keahlian yang mereka miliki. Khusus dalam masalah hukum Islam, MUI memiliki Komisi Fatwa yang bertugas untuk merumuskan berbagai persoalan hukum Islam yang belum ditetapkan secara eksplisit di dalam Al Quran dan As Sunnah, yang untuk selanjutnya fatwa tersebut ditetapkan oleh Dewan Pimpinan Pusat Majelis Ulama Indonesia.
Dalam kaitan terjadinya musibah pandemi virus Covid-19 yang telah melanda 209 negara di dunia. Perkembangan terakhir, berdasarkan data Worldometers, sampai pukul 15.30 WIB, 8 April 2020, jumlah total kasus positif corona di seluruh dunia telah menyentuh angka 1.434.825. pasien. Sejauh ini, pandemi virus corona yang mulai muncul sekitar 3 bulan lalu, telah menelan korban sebanyak 82.156 jiwa. Angka kematian pasien Covid-19 di seluruh dunia tersebut terhitung setelah ada tambahan data pasien meninggal sebanyak 6.800-an jiwa dalam sehari terakhir.
Data terbaru sampai tanggal 8 April, total pasien positif Covid-19 yang meninggal di Indonesia mencapai 240 jiwa. Tercatat ada 19 kasus kematian baru dalam 24 jam terakhir. Data tersebut menunjukkan case fatality rate (CFR) atau rasio kematian pasien positif corona di dalam negeri berada di level 8,12 persen. DKI Jakarta masih menjadi provinsi episentrum utama kasus Covid-19. Jumlah kasus di ibu kota tercatat terus melonjak dan tertinggi di antara 32 provinsi yang terpapar pandemi. Hanya Provinsi Gorontalo dan NTT yang sampai sekarang belum melaporkan memiliki kasus poistif corona. Berikut 10 provinsi dengan jumlah kasus positif corona tertinggi pada 8 April 2020: 1. DKI Jakarta: 1.470 kasus positif, 114 meninggal dan 70 sembuh 2. Jawa Barat: 365 kasus positif, 35 meninggal dan 17 sembuh 3. Banten: 212 kasus positif, 18 meninggal dan 7 sembuh 4. Jawa Timur: 196 kasus positif, 16 meninggal dan 46 sembuh 5. Jawa Tengah: 140 kasus positif, 22 meninggal dan 14 sembuh 6. Sulawesi Selatan: 127 kasus positif, 6 meninggal dan 21 sembuh 7. Sumatera Utara: 59 kasus positif, 4 meninggal dan 0 sembuh. 8. Bali: 49 kasus positif, 2 meninggal dan 18 sembuh 9. DI Yogyakarta: 41 kasus positif, 7 meninggal dan 6 sembuh 10. Papua: 38 kasus positif, 2 meninggal dan 3 sembuh Selain memiliki total pasien Covid-19 terbanyak, lonjakan kasus secara harian di DKI Jakarta pun jauh di atas 31 provinsi lainnya. Data terbaru Gugus Tugas juga memperlihatkan ada lonjakan kasus signifikan di Sumatera Utara dalam 24 jam terakhir. Penambahan kasus secara harian di Sumatera Utara tercatat melampaui Banten dan Jawa Barat, dua daerah yang berbatasan langsung dengan ibu kota. Selain itu, belasan kasus baru ditemukan di Papua. Daftar 10 Provinsi dengan lonjakan kasus tertinggi dalam sehari terakhir: 1. DKI Jakarta: 101 kasus baru 2. Sumatera Utara: 33 kasus baru 3. Jawa Barat: 22 kasus baru 4. Banten: 18 kasus baru 5. Papua: 12 kasus baru 6. Jawa Tengah: 7 kasus baru 7. Bali: 6 kasus baru 8. Kalimantan Selatan: 4 kasus baru 9. Sulawesi Tenggara: 4 kasus baru 10. Lampung: 3 kasus baru. Data Terbaru Update Corona di Dunia Hari Ini Pandemi Covid-19 yang saat ini telah melanda banyak negara di dunia, termasuk Indonesia, belum menunjukkan tanda-tanda bakal bisa diredam dalam waktu dekat. ("Update Corona 8 April 2020 Indonesia & Data Covid-19 Dunia Hari Ini", https://tirto.id/eLSN.)
Sangat aneh jika penulis Sanggahan Terhadap Fatwa MUI ini menyimpulkan bahwa untuk konteks NKRI, mafsadah yang ditimbulkan Covid-19 masih Mauhumah ( belum nyata). Apakah kita harus menunggu sampai puluhan ribu orang meninggal sebagai korban virus Covid-19, baru kemudian MUI membuat fatwa?
Bukankah sadduz-zari'ah (mencegah perbuatan yang dapat mendatangkan kerusakan) menjadi salah satu prinsip hukum Islam yang dipegang oleh ahli hukum Islam?
DR. ‘iyadh bin Namib dalam bukunya "Qawa'id Fiqhiyah" menjelaskan:
إبطال الأعمال التي تؤدي إلى مفسدة، كل عمل يئول إلى مفسدة فإنه يكون باطلاً، والعمل قد يكون في أصله مباحًا، لكن لَمَّا ننظر إلى ما يئول إليه نجد أنه يئول إلى مفاسد عظيمة، فلهذا الشرع ينظر إلى هذا ويراعيه
“tidak bolehnya melakukan perbuatan yag bisa mengantarkan kepada suatu mafsadah, setiap amal yang mengantarkan kepada suatu mafsadah adalah batil dan bisa jadi perbuatan tersebut hukum asalnya mubah. Akan tetapi ketika kita melihat ia bisa mengantarkan kepada suatu mafsadah maka kita dapatkan bahwa perbuatan tersebut bisa membawa kepada kerusakan yang besar. Oleh karena itu syariat menimbang dan memperhatikan hal ini.” [Qowaid fiqhiyah hal 15, DR. ‘iyadh bin Nami, syamilah]
Untuk mencegah terjadinya mafsadah yang lebih besar di wilayatul hukmi Republik Indonesia, maka tentu Fatwa MUI menjadi dasar pertimbangan yang lebih utama dalam menentukan langkah-langkah strategis yang harus dilakukan oleh Pemerintah dan Masyarakat dalam hal yang berkaitan dengan keagamaan Islam. Tidak mungkin urusan bermasyarakat apalagi dengan kehidupan berbangsa dan bernegara berpegang kepada ijtihad yang bersifat pribadi, karena ijtihad pribadi tentu jumlah sangat banyak dan pendapatnya bermacam- macam.
Hendaknya ijtihad pribadi tidak boleh dipaksakan untuk urusan yang melibatkan orang banyak, karena dapat mengganggu pelaksanaan regulasi yang ditetapkan oleh regulator (pemerintah) dan berakibat terhadap orang banyak.
Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh
Risman Muchtar
KOMENTAR