M.
Nasri Dini, S.Pd.I
Kepala
SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo, Sukoharjo-Jateng
Pada
beberapa edisi sebelumnya, Majalah Tabligh sudah membahas secara berurutan 6
dari Langkah Muhammadiyah (1938-1940) yang digagas KH. Mas Mansur saat beliau
menjadi Ketua PB Muhammadiyah, di antaranya yaitu: (1) Memperdalam Masuknya
Iman; (2) Memperluas Paham Agama; (3) Memperbuahkan Budi Pekerti; dan (4)
Menuntun Amalan Intiqad; (5) Menguatkan Persatuan; dan (6) Menegakkan Keadilan.
Pada edisi kali ini, Majalah Tabligh akan akan
mengupas langkah ketujuh dari dua belas langkah yang merupakan doktrin
ideologis pertama Persyarikatan Muhammadiyah tersebut, yaitu “Melakukan
Kebijaksanaan”.
Dalam
berbuat dan beramal, seorang manusia tidak boleh melupakan dan mengesampingkan
sikap hikmah atau dalam bahasa umum diartikan dengan kebijaksanaan atau
bijaksana. Dan dalam berlaku hikmah, manusia dituntut untuk selalu berpegang
pula kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW. Karena jika sikap yang
diambil manusia tersebut ternyata menyalahi dua pedoman hidupnya itu maka hal
itu hakikatnya bukan disebut sebagai hikmah yang sesungguhnya.
KH.
Mas Mansur mengawali penjelasan langkah ini dengan mengutip beberapa ayat Al-Qur’an,
di antaranya:
ادْعُ
إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ
وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.” [Q.S.
An Nahl/16:
125].
Selain
ayat tersebut, KH. Mas Mansur juga mendasarkan sikap hikmah pada beberapa ayat
Al-Qur’an yang lain, yaitu: Al-Baqarah ayat 269, Luqman ayat 12, Al-Baqarah
ayat 251, Al-Jumu’ah ayat 2 dan Al-Qamar ayat 4-5.
KH.
Mas Mansur berkata, “Di dalam segala gerak kita, harus tidak boleh melupakan
hikmah, kebijaksanaan. Hikmah mana, hendaklah disendikan kepada kitabullah dan
sunnatur Rasulullah. Kebijaksanaan yang menyalahi dari kedua pedoman hidup itu
harus kita buang selekas-lekasnya, karena dia itu bukan kebijaksanaan yang
sesungguhnya.” [Tafsir
Langkah hlm. 66].
Kamus
Besar Bahasa Indonesia mengartikan kebijaksanaan dengan “kepandaian menggunakan
akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya), kecakapan bertindak apabila
menghadapi kesulitan dan sebagainya”. Wiktionary mengartikan secara etimologi
sikap bijaksana adalah sikap tepat dalam menyikapi setiap keadaan dan peristiwa
sehingga memancarlah keadilan, ketawaduan dan kebeningan hati.
Dalam
Tafsir Langkah Muhammadiyah [hlm.
69]
KH. Mas Mansur mengartikan hikmah dengan beberapa arti, “Menurut keterangan
salah satu ulama, hikmah itu ialah menetapkan sesuatu barang pada tempatnya.
Ulama yang lain menerangkan bahwa hikmah itu ilmu. Ulama yang lain lagi
menerangkan bahwa hikmah itu kenabian. Lainnya lagi menerangkan bahwa hikmah
itu kebijaksanaan, yakni melakukan sesuatu perkara dengan tidak tergesa-gesa.
Ada pula ulama yang menerangkan bahwa hikmah itu mengetahui barang yang benar
dengan ilmu dan pikiran.”
Abu
Ihsan Al-Atsari mengartikan hikmah dengan lebih lengkap. Hikmah adalah sebuah
ungkapan tentang bagaimana menyelesaikan setiap masalah dengan ilmu yang benar.
Hikmah identik dengan fikih dan pemahaman. Hikmah digunakan juga untuk berbagai
makna, seperti As-Sunnah, akal, kebijaksanaan dan lain-lainnya. Hikmah juga
bisa berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya dan mengerjakan sesuatu pada
momentum yang tepat. Hikmah juga berarti menyelesaikan masalah tanpa
menimbulkan masalah baru. Menyelesaikan masalah dengan menimbulkan masalah lain
atau masalah yang lebih besar lagi merupakan bukti ketiadaan hikmah.
Ini
sesuai dengan firman Allah SWT:
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ
مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا
يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ
“Allah
memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang
diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang
dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.” [Q.S.
Al-Baqarah/2: 269].
KH. Mas Mansur
berkata, “Orang yang melakukan hikmah itu disebut orang yang hakim.
Sebagaimana ayat “wahuwal aziizul hakim (dialah yang Maha Mulia lagi Maha
Bijaksana)”. [Tafsir Langkah
hlm. 69]
Sikap hikmah ini
dibutuhkan oleh manusia dalam menghadapi segala hal di dunia ini. Agar
langkah-langkah yang diambilnya tidak salah. Sebagai pribadi saja sangat
penting keberadaan hikmah ini pada diri seseorang, apalagi bagi para pimpinan
umat, tentu lebih penting lagi memilikinya. Karena jika seorang pribadi salah
mengambil langkah, seseorang tersebut hanya akan merugikan dirinya sendiri dan
mungkin saja tak berpengaruh bagi orang lain. Tetapi jika pimpinan umat atau musyawarah
jam’iyyah sampai salah mengambil langkah karena tidak dimilikinya hikmah,
tentu efeknya tidak hanya akan menimpa satu dua orang saja, tetapi orang banyak
atau masyarakat luas yang mengikutinya pun akan terkena madharat darinya. Sikap
hikmah terkadang tidak bisa selalu kita maknai ‘hitam-putih’. Karena hikmah ini
bisa diambil dengan berpikir secara mendalam, berpikir secara filosofis.
Lantas bagaimana
cara kita menjadi orang yang bijaksana dan melakukan sikap hikmah ini? Mengenai
keterangan pertanyaan ini, KH. Mas Mansur menjawab dengan singkat, “Semua
tindakan dan amal kita, haruslah dengan siasah dan hikmah”. [Tafsir Langkah hlm. 70]. Jika salah satu
makna hikmah adalah ilmu, pengetahuan dan pemahaman, maka memaknai jawaban KH.
Mas Mansur ini bisa dipahami bahwa untuk menjadi seorang yang bijaksana, orang
yang berlaku hikmah, maka dia harus pula memiliki hikmah, memiliki pengetahuan,
pemahaman dan ilmu yang mendalam. Agar dia tidak salah dalam mengambil langkah.
Allah SWT berfirman,
يَا يَحْيَى خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ
وَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا
“Hai Yahya, ambillah Al Kitab (Taurat) itu dengan
sungguh-sungguh. Dan kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak.” [Q.S. Maryam/19: 12]
Allah SWT juga berfirman,
أُولَئِكَ الَّذِينَ
آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ
“Mereka itulah orang-orang
yang telah Kami berikan kitab, hikmah (ilmu dan
pemahaman) serta kenabian.” [Q.S. Al-An’am/6: 89]
Hikmah ini adalah
kekuatan yang kita miliki untuk mengambil apa-apa di balik setiap pembacaan
yang kita lakukan terhadap sesuatu permasalahan. Dan tentu saja hikmah ini
tidak murni sebuah kemampuan yang dimiliki oleh manusia itu semata, tetapi ia
datang dari petunjuk dan hadir karena karunia dari Allah SWT yang mempunyai
sifat Al-Hikmah, Maha Bijaksana. Allah SWT berfirman,
“Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman) kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah
dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang
dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” [Q.S. Al-Baqarah/2: 269]
Hikmah atau kebijaksanaan
adalah hal yang sangat penting, baik bagi pribadi maupun untuk organisasi. Maka
tidak salah jika KH. Mas Mansur memasukkannya dalam salah satu langkah dari
langkah-langkah Muhammadiyah. Dalam berdakwah, sikap bijaksana ini juga mutlak
harus dimiliki oleh seorang da’i. Jika tidak, maka bukannya berhasil, dakwahnya
justru akan mengalami kegagalan. Karena metode dakwah yang cocok digunakan di
suatu kaum tertentu, belum tentu cocok jika digunakan pada kaum yang lain.
Tetapi butuh kebijaksanaan dari da’i tersebut agar dapat memilih metode mana
yang tepat dan harus dia gunakan.
Dalam sejarah
perjuangan Rasulullah SAW, kisah perjanjian Hudaibiyah pasti sangat akrab di
telinga kita. Meskipun di atas kertas sepertinya sangat menguntungkan orang-orang
kafir Quraisy dan merugikan Rasulullah SAW dan umat Islam, tapi pada akhirnya
kisah ini menunjukkan suatu kemenangan yang sangat nyata sekali. Isi perjanjian
ini adalah pandangan jauh ke depan yang besar sekali pengaruhnya terhadap masa
depan Islam. Dan ini tidak lain adalah karena sikap hikmah dan kebijaksanaan yang dimiliki Rasulullah SAW.
Dalam dunia
dakwah di tanah air, misalnya sikap Muhammadiyah yang dengan terpaksa menerima
penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta, menerima Pancasila sebagai asas
tunggal semua ormas, adalah contoh sikap hikmah yang ditunjukkan oleh para pimpinan
persyarikatan saat itu. Sikap-sikap tersebut diambil tidak dengan emosi sesaat,
tetapi dengan pemahaman dan pandangan yang mendalam. Melihat permasalahan dari
berbagai sisi, sehingga bisa menghasilkan mashlahat bagi dakwah, bukan justru
sebaliknya.
Mengakhiri
penjelasan bab ini KH. Mas Mansur berkata, “Tuntunan Agama Islam, adalah
tuntunan yang benar. Sebab itu, maka semua siasah dan hikmah, hendaklah kita
turutkan pada tuntunan agama. Agar siasah kita itu mendapat jalan di jalan yang
benar, dan dapat berduduk di mana tempat yang semestinya.” [Tafsir Langkah hlm. 70] []
*) Tulisan ini diterbitkan pada Majalah Tabligh edisi April 2020
KOMENTAR