Abdul Rasyid
(Lulusan
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan IPB)
Kondisi
Ekonomi
Pada tahun 2003 perekonomian China masih di urutan keenam
dunia dengan produk domestik bruto (PDB) senilai 1,7 triliun dollar Amerika Serikat
(AS). PDB AS, yang merupakan perekonomian terbesar di dunia, senilai tujuh kali
lipat dari PDB China. Sumbangan PDB China hanya sebesar 4 persen terhadap PDB
dunia pada 2003 dan kini melonjak menjadi 16 persen.
Perekonomian China kini telah mengalami lonjakan delapan
kali lipat menjadi 13,6 triliun dollar AS, kondisi yang demikian menempatkannya
sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia. Capaian angka tersebut
kian mendekati PDB AS. PDB AS tinggal 1,5 kali lipat dari China. Pada tahun
2019, PDB China (sekitar 14,55 triliun dollar AS) hampir sama dengan PDB semua
negara Uni Eropa. Sebuah capaian prestasi pertumbuhan ekonomi yang sangat baik
apabila dibandingkan dengan negara manapun di dunia.
Sumber: World Bank
Semua negara di belahan manapun dapat menyaksikan bahwa
China telah menjelma menjadi pusat grafitasi perdagangan dunia. Tak ada satu
pun negara yang menandingi nilai perdagangan China. Nilai ekspor dan impor
China tahun 2018 mencapai 4,6 triliun dollar AS, melampaui nilai perdagangan AS
yang hanya mencapai sebesar 4,3 triliun dollar AS. Lima negara terbesar di
dunia memiliki hubungan dagang paling erat dengan China. Amerika Serikat,
Jepang, dan India mengimpor barang dari China lebih besar ketimbang dari negara
mana pun di dunia. Uni Eropa dan Brazil mengekspor barang paling banyak ke
China daripada ke negara-negara lainnya.
Uniknya, Indonesia memiliki
hubungan dagang paling erat dengan China. Tujuan ekspor terbesar Indonesia
adalah China. Asal impor terbesar Indonesia juga dari China. Artinya ketika
kondisi perekonomian China sedikit saja terganggu, maka akan berimbas pada
kondisi perekonomian Indonesia. Mengingat Indonesia memiliki ketergantungan
dengan China terkait ekspor dan impor.
Menurut Ekonom Faisal
Basri, tekanan terhadap
perekonomian dunia bertambah berat karena pertumbuhan ekonomi China terus
mengalami kecenderungan menurun sejak 2008. Tahun ini diperkirakan pertumbuhan
ekonomi China memasuki zona lebih rendah baru: lima persenan. Tahun lalu
pemerintah China masih mampu meredam perlambatan ekonomi lewat pelonggaran
kebijakan moneter. Kali ini yang dihadapi jauh lebih berat, tidak sekedar
faktor ekonomi teknis, melainkan juga faktor psikologis. Oleh karena itu bisa
dimaklumi ada prediksi pertumbuhan China tahun ini berpotensi di bawah 5
persen. Hampir bisa dipastikan target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,3
persen tahun ini sebagaimana tercantum dalam APBN 2020 dan RPJM 2020-2024 tidak
akan tercapai. Bisa tumbuh 5 persen saja seperti tahun 2019 sudah amat bagus.
Ekonomi Indonesia tahun 2019 tumbuh 5,02 persen, lebih
rendah dibanding capaian tahun 2018 yang mampu menembus 5,17 persen. Dari sisi
produksi, pertumbuhan tertinggi dicapai Lapangan Usaha Jasa Lainnya sebesar 10,55
persen. Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh Komponen
Pengeluaran Konsumsi Lembaga Nonprofit yang melayani Rumah Tangga (PK-LNPRT)
sebesar 10,62 persen.
Struktur ekonomi Indonesia secara spasial tahun 2019
didominasi oleh kelompok provinsi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Pulau Jawa
memberikan kontribusi terbesar terhadap Produk Domestik Bruto, yakni sebesar
59,00 persen, diikuti oleh Pulau Sumatera sebesar 21,32 persen, dan Pulau
Kalimantan 8,05 persen. Ini menjadi aneh dan terasa janggal, pasalnya Presiden
Joko Widodo memiliki komtimen kuat untuk memajukan daerah. Tak bisa dihitung
dengan menggunakan jari, Presiden Jokowi mengunjungi daerah hingga ke lokasi
terpencil dan terdepan serta daerah perbatasan yang sebelumnya terabaikan. Perhatian
khususnya kepada Papua juga luar biasa. Tak ada presiden sebelumnya yang
mengunjungi Papua sesering Presiden Jokowi. Tak hanya berkunjung. Pemerintahan
Era Presiden Joko Widodo sangat gencar membangun infrastruktur seantero negeri.
Bahkan, apabila semua sasaran dan realisasi semua wilayah dijumlahkan kecuali
Jawa, masih belum bisa menyamai sasaran dan realisasi wilayah Jawa. Sangat
timpang dan tidak merata.
Politik,
Ekonomi, dan Radikalisme
Sejak reformasi digulirkan, Indonesia mengalami transisi
demokrasi setelah selama 32 tahun di bawah rezim otoriter Soeharto. Demokrasi
membuka peluang bagi lahirnya berbagai macam organisasi, baik politik, ekonomi
maupun agama sebagai manifestasi kebebasan berekspresi. Tak ketinggalan,
periode transisi ini juga membuka ruang bagi menjamurnya organisasi keagamaan
dengan beragam karakternya. Munculnya berbagai macam organisasi Islam militan
seperti Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majlis
Mujahiddin Indonesia (MMI) dan Jamaah Islamiyah (JI) untuk menyebut beberapa
nama merupakan konsekuensi logis bagi kebebasan yang ada. Namun demikian,
keberadaan organisasi ini dinilai membahayakan sebab tidak jarang dalam
aktifitasnya selalu menebarkan kebencian, teror dan aksi kekerasan. Realitas
ini menegaskan bahwa radikalisme dan yang pada akhirnya bisa saja mengarah pada
terorisme mengancam semangat toleransi beragama yang menjadi ciri khas Islam
Indonesia.
Menurut Fatkhuri (2012), ada dua faktor fundamental yang
mendukung radikalisme dan terorisme, yakni : pertama, deprivasi ekonomi dan ketidakadilan politik. Dalam
konteks ekonomi, kemiskinan mendorong radikalisme dan terorisme karena rasa
frustasi berkepanjangan serta kesenjangan ekonomi masyarakat yang diakibatkan
oleh kebijakan diskriminatif pemerintah. Dalam konteks politik, radikalisme dan
terorisme muncul sebagai bentuk protes kelompok Islam militan dengan sistem
politik sekuler (demokrasi). Pelaksanaan demokrasi memicu kelompok Islam
militan berupaya untuk mengganti sistem politik yang ada dengan syariat Islam.
Kelompok ini mengklaim bahwa Indonesia dengan mayoritas penduduk muslim di
dunia harus melaksanakan sistem politik Islam (Khilafah).
Di sisi lain, demokrasi dinilai tidak bisa memecahkan
berbagai persoalan seperti kemiskinan yang tetap merajalela, moral masyarakat
semakin tidak tertata dan sebagaianya. Kedua, radikalisme dan terorisme
tumbuh dikarenakan oleh ketidakadilan global. Kebijakan (standar ganda) luar
negeri AS terhadap Negara-negara Islam (timur tengah) menimbulkan reaksi keras
dari kelompok Islam militan Indonesia terhadap Negara-negara barat (USA). Reaksi inilah yang pada gilirannya memicu kelompok Islam
militan melakukan aksi kekerasan dan ancaman teror sebagai bentuk perlawanan
mereka.
Menurut Hipel (2009) kemiskinan akan memungkinkan
seseorang mudah berbuat radikal dan
melakukan aksi teror sebab mereka tertarik
untuk mendapat bantuan jasa (charity)
dari pihak lain. Hipel memberikan contoh bahwa beberapa kelompok Islam dan partai politik, termasuk
gerakan Al Qaeda dapat melebarkan pengaruhnya hanya dengan memberikan bantuan jasa terhadap masyarakat
miskin. Menurut Hipel, kelompok teroris telah meluaskannya pengaruhnya dan mendapatkan pengikut banyak
karena bantuan (charity) yang mereka berikan (2009, hal.53). Hipel menunjukkan
fakta bahwa beberapa gerakan teroris di Pakistan dan Afghanistan mengembangkan
gerakannya dengan cara memberikan
bantuan langsung kepada masyarakat miskin dan terbukti beberapa orang yang
melakukan bom bunuh diri berasal dari
keluarga tidak mampu.
Dalam konteks politik, radikalisme dan terorisme bisa
disebabkan oleh perlakuan diskriminatif penguasa terhadap kelompok tertentu.
Diskriminasi tersebut bisa berupa tidak diakomodasinya aspirasi atau keinginan
kelompok tersebut sehingga mengakibatkan tindakan frontal dan anarkis.
Contohnya adalah aksi anarkisme yang dilakukan oleh kelompok Islam militan yang
bertujuan untuk mengganti sistem sekuler (demokrasi) dengan syari’ah Islam
(daulah Islamiyah). Kelompok ini beranggapan bahwa demokrasi adalah sistem politik barat yang
harus ditolak karena tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Persoalan radikalisme dan terorisme sebetulnya sangatlah
kompleks. Kita tidak bisa langsung menyimpulkan penyebabnya, artinya
radikalisme dan terorisme tidak hanya disebabkan oleh faktor tunggal
sebagaimana disebutkan di atas. Kita harus melihatnya dengan pendekatan
berbagai macam studi keilmuan, misalnya dari aspek hukum, politik, sosial dan
ekonomi. Oleh karena itu, ini PR besar untuk pemerintah dalam menyelesaikan
kesenjangan ekonomi dan keadilan dalam segala hal di negeri ini. Amanat rakyat
harus dijaga dengan sebaik mungkin, karena ketidakpercayaan akan berakibat
fatal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pun juga bisa memunculkan adanya
gerakan-gerakan yang bermuara pada rasa ketidakpercayaan dan sikap anti-pati
terhadap pemerintah. Boleh jadi dan sangat memungkinkan, barisan-barisan atau
kelompok-kelompok ini lah yang kemudian akan dimanfaatkan dan diakomodasi
kepentingannya oleh kelompok tertentu demi melancarkan kepentingannya.
Tentang ISIS, isu radikalisme, dan munculnya virus corona
tidak bisa lepas dari persoalan ekonomi, sosial, hukum, dan politik. Siapa
tahu? Kita tidak bisa melihatnya menggunakan kacamata satu aspek keilmuan untuk
menyimpulkan. Wallahu a’lam. []
KOMENTAR