Ada banyak kisah inspiratif dari kehidupan Nabiyullah Ibrahim as yang sepatutnya diteladani oleh setiap kita. Berawal dari kisah Ibrahim muda yang berani menghancurkan patung-patung berhala, yang mana telah menyebabkan dirinya dibakar hidup-hidup.
Namun, atas takdir Allah sehingga api yang membakar dirinya tidak mampu menghanguskan tubuhnya. Selanjutnya, kisah mengharukan ketika Ibrahim diperintah oleh Allah untuk menyembelih Ismail putra yang sangat dicintainya. Lagi-lagi keteguhan imannya kepada Allah menjadi dasar keikhlasannya menjalankan segala perintah-Nya sekalipun harus menyembelih putra kesayangannya.
Tulisan singkat ini akan mencoba mengulas sekilas tentang keteladanan Nabi Ibrahim dalam memimpin umat dan keluarga. (Pembahasan lainnya disajikan dalam banyak tulisan dari berbagai perspektif).
Teladan dalam Memimpin Umat
Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang dzalim”. (Q.S. Al Baqarah/2: 124). Nabi Ibrahim AS memenuhi seluruh kualifikasi penting figur pemimpin yang layak dijadikan teladan.
Nabi Ibrahim adalah seorang yang berpegang teguh terhadap kebenaran, tidak berpaling untuk meninggalkannya, dan memiliki pemahaman agama yang lurus. “Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (Q.S. Ali Imran/3: 67).
Pemimpin harus memiliki fondasi spiritualitas yang baik. Allah SWT berfirman tentang Nabi Ibrahim AS, “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan).” (Q.S. An Nahl/16: 120).
Pemimpin harus memiliki kecerdasan dan keberanian, tidak hanya salah satunya. Tidak sedikit orang yang memiliki kemampuan intelektual namun tidak memiliki keberanian, segudang idenya pun hanya menjadi setumpuk angan. Hasilnya adalah pemimpin yang gemar berandai-andai untuk kemudian menyesal.
Kecerdasan dan keberanian Nabi Ibrahim AS sudah tumbuh sejak beliau masih belia. Hal ini jelas tampak dari dialog Ibrahim kecil dengan ayahnya tentang konsep ketuhanan seperti tertuang dalam Surah Maryam atau dalam upaya beliau mencari Tuhan seperti dikisahkan cukup panjang dalam Al Qur’an surah Al An’am. Demikian juga yang tercermin pada Surah Al Anbiya dalam peristiwa penghancuran berhala. Atau dalam perdebatan beliau dengan Raja Namrud seperti dikisahkan dalam surat Al-Baqarah ayat 258.
Pemimpin harus visioner sekaligus amanah. Sekedar pemimpin visioner saja tidak cukup untuk mengubah apapun, namun sekedar mengerjakan tanggung jawab juga hanya akan terjebak pada rutinitas. Dalam Al Qur’an terdapat Surah Ibrahim yang di antaranya memuat do’a-do’a Nabi Ibrahim AS, salah satunya adalah
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur”. (Q.S. Ibrahim/14: 37).
Pada saat Nabi Ibrahim AS berdo’a, Baitullah belumlah didirikan dan wilayahnya sangat tandus. Atas karunia Allah SWT, Nabi Ibrahim AS punya visi dan tekad kuat untuk menyempurnakan janji tersebut. Beberapa tahun kemudian Baitullah dibangun untuk kemudian berkembang menjadi wilayah Masjidil Haram – Mekkah yang kita kenal sekarang, pusat manusia-manusia mendirikan shalat.
Teladan dalam Memimpin Keluarga
Berkaca dari kisah ini ada banyak hal yang bisa kita gali, salah satunya adalah bagaimana cara Nabi Ibrahim mendidik putranya hingga menjadi anak yang saleh dan berbakti. Padahal kita tahu, Nabi Ibrahim AS tidak membersamai puteranya di masa kecilnya. Ismail kecil dan ibunya, Siti Hajar, ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim AS di Makkah yang saat itu masih berupa padang pasir yang sepi dan belum berpenghuni seramai sekarang.
Ada sebuah percakapan menarik sebelum perpisahan itu. Saat itu, Siti Hajar berkata “Wahai Nabi Ibrahim, kemana engkau hendak pergi? Apakah engkau akan meninggalkan kami?” tanya Siti Hajar dengan cemas. Namun, Ibrahim hanya diam seribu bahasa.
“Apakah ini perintah Allah?” tanya Siti Hajar lagi. “Ya” jawab nabi Ibrahim. “Kalau begitu, Allah pasti tidak akan menyia-nyiakan kami” tegas Hajar dengan keimanannya yang kuat.
Kemudian Nabi Ibrahim AS berwasiat kepada istrinya: "Bertawakkallah kepada Allah yang telah menentukan kehendak-Nya, percayalah kepada kekuasaan-Nya. Allah Yang Maha Perkasa tidak akan melantarkan kalian berdua tanpa perlindungan-Nya. Insya Allah."
Setelah itu, Nabi Ibrahim AS berdoa kepada Allah SWT. Sebagaimana dalam surat Ibrahim/14: 37.
Hal menarik lainnya dari do’a-do’a Nabi Ibrahim AS adalah beliau senantiasa mendo’akan anak cucu dan keturunannya, di antaranya agar tidak menyembah berhala (ayat 35) dan tetap mendirikan shalat (ayat 41). Pemimpin sejati tahu benar pentingnya kaderisasi. Memastikan adanya kader penerus perjuangan merupakan hal yang fundamental. []
KOMENTAR