“Saya akan berkoordinasi dengan MUI, supaya dalam mengeluarkan fatwa agar mempertimbangkan toleransi perbedaan di Indonesia. Kemudian saya perintahkan kepada jajaran agar melakukan tindakan sesuai aturan hukum. Jika ada yang merampas atribut ya harus ditangkap. Masyarakat harus dilindungi”, begitu kata Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Tito Karnavian.
Dalam kesempatan itu pula, ia menegaskan bahwa fatwa MUI bukanlah hukum positif di Indonesia atau hukum yang berlaku saat ini di suatu negara. Tidak cukup sampai di situ, ia menegur keras Kapolres Kota Bekasi dan Kapolres Kulonprogo yang membuat surat edaran terkait fatwa MUI No. 56 tahun 2016 dan meminta surat edaran yang berisikan himbauan agar para pengusaha menghormati fatwa MUI itu di cabut.
Tentu, fatwa MUI yang dimaksud Kapolri ialah fatwa tentang pengharaman penggunaan atribut non muslim pada muslim, khususnya pada karyawan/karyawati muslim yang selama ini menjadi korban penggunaan atribut menjelang perayaan hari besar non muslim. Fatwa tersebut dikeluarkan MUI pada 14 Desember 2016 dan akhirnya disambut dengan tindakan sosialisasi dari ormas-ormas Islam di beberapa daerah.
Surat edaran yang dimaksud Kapolri salah satunya ialah surat bernomor B/4240/XII/2016/Restro Bekasi Kota tertanggal 15 Desember 2016. Seperti yang dilansir detik.com, surat itu ditujukan kepada para pemimpin perusahaan di Bekasi dan ditandatangani oleh Kapolres Kombes Umar Surya Fana.
Selain itu, surat edaran dari penjabaran fatwa MUI tersebut juga merujuk kepada UU RI No. 2 tahun 2002 tentang Polri dan Kirsus Sqt Intelkam Polres Metro Bekasi Kota bernomor R09/Kirsus/XII/2016/SIK tanggal 14 Desember 2016 tentang pengamanan natal dan tahun baru 2016/2017.
Adapun dalam surat tersebut, Kapolres mengimbau agar pimpinan perusahaan menjamin hak beragama umat Islam dalam menjalankan agama sesuai keyakinannya, tidak memaksakan kehendak untuk menggunakan atribut keagamaan non muslim kepada karyawan/karyawati muslim.
Kemudian pimpinan perusahaan menjamin hak beragama umat Buddha, Konghucu serta keyakinan lain dalam menjalankan agama sesuai keyakinannya, tidak memaksakan kehendak untuk menggunakan atribut keagamaan selain agamanya kepada karyawan/karyawati
Terakhir, pimpinan perusahaan tidak memberikan sanksi dalam bentuk apapun pada karyawan/karyawati yang tidak menggunakan atribut yang bernuansa natal dan tahun baru. Namun bak kayu yang tersiram api, Kapolri dengan garang mengatakan akan menegur keras kedua Kapolres tersebut dan surat edaran harus dicabut.
Toleransi Dalam Islam
Dari ayat tersebut, umat Islam harus tetap menghormati dan menghargai keyakinan umat dari agama lain dengan tidak memaksanya untuk masuk Islam, termasuk pula memintanya memakai atribut-atribut khas Islam ketika perayaan-perayaan besar Islam maupun sampai menjaga tempat ibadahnya.
Toleransi dalam Islam juga hanya sebatas pada muamalah saja, yaitu hanya untuk membuat pemeluk agama lain merasa aman dan nyaman dalam beragama dan menjalankan ibadah. Bukan pada ranah akidah atau keyakinan, sebagaimana yang tercantum dalam surat Al Kaafirun (109):1-6.
Tentu Kapolri sebagai seorang muslim yang meyakini kebenaran firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Al-Qur’an juga wajib mengetahui bahwa Piagam Madinah merupakan piagam konstitusi terbaik yang pernah ada dan sampai saat ini belum ada satu negara pun yang mengatur toleransi dan kehidupan kebebasan beragama selengkap Piagam Madinah.
Sejarah mengenai toleransi dan kebebasan beragama sudah dimulai dengan sangat indah dari agama Islam, yaitu sejak adanya Piagam Madinah yang diciptakan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi Wasallam.
Piagam Madinah, menurut Dr. Adian Husaini dalam bukunya Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen dan Islam, yang ditetapkan pada tahun 622 M (1 Hijriah) ini memiliki peraturan bagaimana cara mengatur hubungan antar umat beragama dan yang diciptakan Rasulullah. Piagam Madinah dalam beberapa pasalnya, sudah jelas mengatur hubungan tersebut. Misalnya:
Pasal 16: “Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti (setia kepada Negara) kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang (mukminin) tidak terzalimi dan di tentang (olehnya)”.
Pasal 24: “kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam masa peperangan”.
Pasal 25: “(1) kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. (2) Bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum muslimin agama mereka. (3) Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya”.
Tidak hanya itu, contoh terbaik dari toleransi adalah kejadian yang di alami oleh Wasaq Rumi, budak Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu. M.H Syed, Human Rights in Islam (The Modern Prespective) menuliskan cerita Wasaq, "saya tadinya adalah budak dari umar dan ia biasa berkata bahwa ia menerima, jika kamu adalah orang Islam, saya akan memberikanmu beberapa tanggung jawab untuk urusan kaum muslimin, karena diharamkan bagiku untuk memberikan pekerjaan pada orang kafir", tetapi Wasaq tidak dapat menerima Islam dan dia mengatakan, "tiada paksaan dalam beragama". Dan saat ajal Umar menjelang, dia membebaskan saya dan berkata "Pergilah ke mana pun kamu mau".
Sehingga tidak salah, jika seorang pemikir Muslim, Muhammad Legenhausen, seperti yang dikutip Dr. Anis Malik Thoha dalam Tren Pluralisme Agama sampai berpendapat,
“...[T]rue religious tolerance will only be achieved when men learn to be respect the religious beliefs of those they consider to be mistaken. The key to tolerance is not the removal or realitivisation of disagreement, but the willingness to accept genuine disagreement. …[T]oleransi agama yang sebenarnya hanya akan terwujud ketika manusia belajar menghargai keyakinan-keyakinan agama yang mereka anggap sebagai salah. Kunci untuk toleransi bukanlah membuang atau merelativisasi ketidaksepakatan, tapi kemauan untuk menerima ketidaksepakatan yang genuine”.
Maka, dengan membiarkan penganut agama lain merasa aman dan nyaman ketika menjalankan ibadahnya atau mengimplementasikan ajaran agamanya di tempat ibadahnya tanpa harus meminta atau memaksa umat dari agama lain memakai atribut-atribut perayaan yang bukan agamanya ialah suatu bentuk toleransi, bukan toleransi yang intoleransi, sehingga tidak perlu mempertimbangkan toleransi seperti kata pak Kapolri. [mrh]
KOMENTAR