Dengan alasan melucuti senjata Jepang dan memulihkan keamanan Indonesia, tentara sekutu yang dikomandani Inggris memasuki Jakarta dan kemudian menduduki kota Surabaya. Ternyata, semua itu hanya sebagai alasan untuk mengembalikan Indonesia sebagai negeri jajahan Belanda. Hal ini terbukti dengan hadirnya kembali tentara Belanda dalam koalisi tentara sekutu tersebut. Ditangkapnya pejuang Indonesia dan adanya ultimatum agar seluruh pejuang menyerahkan senjatanya menunjukkan kebusukan misi koalisi tersebut.
Para pejuang menolak dengan tegas tentang ultimatum tentara Sekutu, karena ini dianggapnya sebagai penghinaan dan pelecehan terhadap perjuangan bangsa Indonesia. Apalagi setelah terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang bertanggung jawab untuk mempertahankan kemerdekaan negeri. Maka para pejuang bahu-membahu mengadakan perlawanan terhadap tentara sekutu yang telah membombardir kota Surabaya.
Bung Tomo dengan pasukannya (arek-arek Suroboyo) mampu memberikan perlawanan hebat. Walaupun persenjataan yang dimiliki sangat sederhana namun berkat semangat yang membara dan keinginan kuat untuk tetap merdeka. Bung Tomo secara heroik mengobarkan semangat perjuangan para pemuda dan pejuang untuk mempertahankan kemerdekaan. Teriakan takbir dan desingan peluru berpadu, menggetarkan nyali penjajah untuk menyerah pada pahlawan bangsa.
Perang di Surabaya itu adalah salah satu titik terpenting dalam sejarah mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Perang ini melibatkan seluruh lapisan. Para pemuda dari berbagai daerah dan warga Surabaya bahu membahu menghadapi pasukan asing yang bersenjata lengkap.
Sebelum Bung Tomo, KH Hasyim Asy'ari, telah mengobarkan perang fisabillah. Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) telah mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Pesan sakral itu dikumandangkan demi menyikapi kembalinya penjajah Belanda, yang menumpang di punggung NICA. PBNU pun mengundang konsul-konsul NU di seluruh Jawa dan Madura agar hadir pada 21 Oktober 1945 di kantor PB ANO di Jl Bubutan VI/2 Surabaya. Pertemuan malam hari pada 22 Oktober 1945 itu langsung dihadiri Rais Akbar NU, KH Hasyim Asy’ari.
Rapat PBNU yang dipimpin Ketua Besar KH Abdul Wahab Hasbullah itu pun berakhir. Satu keputusan sudah diambil. Inilah pertama kalinya “ Resolusi Jihad Fi Sabilillah” lahir dari kalangan NU untuk melawan tindakan Sekutu. Amanatnya berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam, pria maupun wanita, dalam jihad mempertahankan tanah air dan bangsanya dibahas malam itu.
Selain Bung Tomo dan Kyai Hasyim, ada banyak para tokoh Islam yang memiliki jiwa kepahlawanan. Sebut saja Dr. Mohammad Natsir, Kasman Singadimejo, dan Soedirman. Mohammad Natsir adalah seorang ulama besar yang diakui dunia, dai, pendidik dan politisi ulung yang mempersatukan negara-negara boneka buatan kolonial Belanda dengan mosi yang terkenal. Mosi Integral Natsir disebut-sebut sebagai proklamasi kemerdekaan Indonesia yang kedua setelah proklamasi 17 Agustus 1945. Akhirnya Pak Natsir, demikian biasa disapa, dipercaya menjadi Perdana Menteri pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau juga pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan di tiga kabinet yang berbeda masa Soekarno. Di mana menurut pengakuan Bung Hatta, Bung Karno tidak pernah mau menandatangani surat-surat pemerintah jika tidak disusun dan dibaca dulu oleh Pak Natsir.
Mr. Kasman Singodimedjo adalah Ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang menjadi cikal bakal dari DPR/MPR pertama periode 1945-1946. Mr. Kasman juga pernah menjabat Jaksa Agung Indonesia (8 November 1945 - 6 Mei 1946). Dinamika revolusi dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan tercermin juga dalam sidang-sidang KNIP. Dalam Sidang Pleno ke-3 KNIP tanggal 27 November 1945, KNIP mengeluarkan resolusi protes yang sekeras-kerasnya kepada Pimpinan Tentara Inggris di Indonesia atas penyerangan Angkatan Laut, Darat dan Udara atas rakyat di berbagai daerah Indonesia, khususnya tanggal 10 November 1945 di Surabaya yang menimbulkan banyak korban di pihak bangsa Indonesia. Dalam sejarahnya, KNIP juga pernah mengadakan sidang di Kota Solo (1946), di Malang (1947), dan Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978) Yogyakarta (1949).
Pada saat menjabat Jaksa Agung, Mr Kasman mengeluarkan Maklumat Jaksa Agung No. 3 tanggal 15 Januari 1946. Maklumat tersebut ditujukan kepada para Gubernur, Jaksa dan Kepala Kapolri (1968-1971) polisi tentang ajakan untuk membuktikan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, yaitu negara yang selalu menyelenggarakan pengadilan yang cepat dan tepat. Sehubungan dengan itu, dia menganjurkan agar segera menyelesaikan perkara-perkara kriminal yang belum diselesaikan. Kapolri (1968-1971) polisi dan Jaksa dituntut untuk selalu menyelaraskan diri dengan pembangunan negara yang berdasarkan hukum dengan bantuan para hakim.
Kiprah Kasman di dunia pergerakan dimulai sejak dirinya aktif di Muhammadiyah. Pada1925, dia pun menjadi salah satu tokoh sentral di Jong Islamieten Bond (JIB). Sebuah perkumpulan pemuda Islam yang menjadi cikal bakal organisasi pergerakan lainnya. Pada 1938, Kasman turut membentuk Partai Islam Indonesia di Surakarta bersama KH Mas Mansur, Farid Maruf, Sukiman, dan Wiwoho Purbohadidjoyo.
Peran Kasman sebagai pemersatu sangat kental dalam proses pengesahan Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Tepatnya pada rapat PPKI 18 Agustus 1945. Golongan Islam sempat menolak proses pengesahan tersebut. Ini dikarenakan adanya usulan penghapusan tujuh kata yang mewakili aspirasi umat Islam, yakni butir pertama yang berbunyi "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Golongan Islam yang diwakili Ki Bagus Hadikusumo menolak usulan tersebut. Sebab, tujuh kata tersebut merupakan kesepakatan bersama yang telah dicapai pada rapat Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yakni pada 22 Juni 1945.
Kesepakatan tersebut dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Dalam momen kebuntuan itulah Kasman hadir sebagai pemersatu antara golongan Islam dan nasionalis. Kasman yang juga berasal dari Muhammadiyah dipercaya oleh Soekarno dan Hatta untuk meluluhkan hati Ki Bagus Hadikusumo supaya menerima usulan penghapusan tujuh kata terkait syariat Islam.
Salah satu pahlawan muslim yang juga besar jasanya terhadap negara ini adalah Jenderal Besar TNI Anumerta Soedirman. Jendral Soedirman merupakan pahlawan Nasional Indonesia yang berjuang ketika Revolusi Nasional Indonesia. Jenderal Soedirman meraih pendidikan formal bermula dari Sekolah Taman Siswa, lalu melanjutkan ke sekolah guru di Muhamadiyah, Surakarta namun tak Tamat. Oleh sebab itu, Ia giat di organisasi Pramuka Hizbul Wathan. Setelah itu ia menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap.
Ketika zaman pendudukan Jepang, ia masuk sebagai tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor di bawah pelatihan tentara Jepang. Setelah menyelesaikan pendidikan di PETA, ia menjadi Komandan Batalyon di Kroya, Jawa Tengah. Kemudian ia menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TKR).
Pada masa pendudukan Jepang ini, Soedirman pernah menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Karesidenan Banyumas. Dalam saat ini ia mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan. Soedirman mendapat prestasi pertamanya sebagai tentara setelah keberhasilannya merebut senjata pasukan Jepang dalam pertempuran di Banyumas, Jawa Tengah. Soedirman mengorganisir batalyon PETA-nya menjadi sebuah resimen yang bermarkas di Banyumas, untuk menjadi pasukan perang Republik Indonesia yang selanjutnya berperan besar dalam perang Revolusi Nasional Indonesia. Itulah saat dimana akhirnya Jepang menyerah kepada Pasukan Sekutu hingga akhirnya Soekarno Mendeklarasikan Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Soedirman pun bertemu dengan Perang besar pertamanya yaitu Perang Palagan Ambarawa melawan Pasukan NICA Belanda dan Inggris yang berlangsung dari November hingga Desember 1945. Setelah kemenangan Soedirman dalam Palagan Ambarawa, pada tanggal 18 Desember 1945 dia dilantik sebagai Jenderal oleh Presiden Soekarno. Soedirman memperoleh pangkat Jenderal tersebut tidak melalui sistem Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya, tapi karena prestasinya.
Pada Perang Agresi Militer II Belanda, Ibu kota Indonesia dipindah ke Yogyakarta. Soedirman memimpin pasukannya untuk membela Yogyakarta dari serangan Belanda II tanggal 19 Desember 1948 tersebut. Namun kala itu Soedirman sudah tak sesehat dahulu. Pada saat pasukan Belanda kembali melakukan agresinya atau yang lebih dikenal dengan Agresi Militer II Belanda, Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta sebab Kota Jakarta sebelumnya sudah dikuasai. Jenderal Soedirman yang saat itu berada di Yogyakarta sedang sakit. Keadaannya sangat lemah akibat paru-parunya yang hanya tingggal satu yang berfungsi.
Dalam Agresi Militer II Belanda itu, Yogyakarta pun kemudian berhasil dikuasai Belanda. Bung Karno dan Bung Hatta serta beberapa anggota kabinet juga sudah ditawan. Melihat keadaan itu, walaupun Presiden Soekarno sebelumnya telah menganjurkannya untuk tetap tinggal dalam kota untuk melakukan perawatan.
Namun anjuran itu tidak bisa dipenuhinya karena dorongan hatinya untuk melakukan perlawanan pada Belanda serta mengingat akan tanggung jawabnya sebagai pemimpin tentara. Maka dengan ditandu, ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerilya. Kurang lebih selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain, dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah sekali sementara obat juga hampir-hampir tidak ada. Tapi kepada pasukannya ia selalu memberi semangat dan petunjuk seakan dia sendiri tidak merasakan penyakitnya. Namun akhirnya ia harus pulang dari medan gerilya, ia tidak bisa lagi memimpin Angkatan Perang secara langsung, tapi pemikirannya selalu dibutuhkan.
Kepahlawanan Islam
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati, bahkan mereka hidup di sisi Rabb mereka dengan diberi rezeki…”. Maka tidak lain dan tidak bukan, Islamlah yang memerdekakan negeri ini, karena seluruh pejuang kemerdekaan beragama Islam. [mrh]
KOMENTAR